(Panjimas.com) – Semula saya agak kurang tertarik untuk menanggapi berbagai pertanyaan baik yang langsung , maupun yang lewat sms dan atau WA, perihal keputusan pribadi Pak Yusril Ihza Mahendra, yang kemudian “diamini” sebagian para elit Partai PBB dalam kongres partai yang baru-baru ini memutuskan mendukung dan akan memilih capres- cawapres no.01.
Namun karena pernyataan dan pertanyaan semakin deras mengalir, maka saya mencoba memberikan tanggapan singkat di bawah ini.
Adalah hak pribadi Pak Yusril dan juga hak sebagian dari elite PBB untuk memilih apa pun yang menjadi sikap politiknya. Begitu juga menjadi hak bagi sebagian elit politik dan para caleg PBB lainnya untuk tidak setuju, mengecam bahkan menyatakan diri keluar dari partai dan dari pencalonannya sebagai anggota legislatif dari PBB.
Pak Yusril sendiri sudah mempersilakan dan telah pula menginstruksikan pengurus partai, untuk membantu menangani semua yang terkait dengan urusan administrasi bagi yang ingin keluar dari Partai.
Jangankan hanya menentukan pilihan dalam berpolitik, bahkan memilih kafir setelah beriman adalah kebebasan mutlak yang sepenuhnya diberikan Allah SWT kepada setiap manusia, yang sudah seharusnya dihormati oleh semua pihak.
Ummat boleh saja kecewa, bingung dan bertanya: “Bagaimana mungkin Partai yang kelahirannya dibidani tokoh-tokoh Masyumi bisa menetapkan pilihan yang kontradiksi seperti itu?”
Kecewa sih wajar-wajar saja, tapi mengapa juga harus bingung ? Bukankah Said Agil Siroj juga acapkali membuat pernyataan dan kebijakan yang berbeda dengan prinsip dan kebijakan serta pandangan pendiri NU, K.H. Hasjim Asj’ari dan juga keputusan politik untuk kembali ke khiththah 26.
Bahkan beberapa dari pernyataan yang bersangkutan tidak hanya membingungkan ummat Islam di luar NU, tapi juga tidak sedikit dari tokoh NU sendiri yang mengecam dan menetapkan sikap “Tafarruk” (memisahkan diri) dari kepengurusan PBNU yang ada sekarang.
Bahkan, K.H.Salahudin Wahid dalam dua artikelnya di Harian Umum REPUBLIKA dan juga di dalam berbagai kesempatan, dengan tegas sekali menyatakan tidak mengakui kepemimpinan PBNU yang ada sekarang, sekaligus mengingatkan warga nahdiyyin dan ummat Islam umumnya, untuk tidak terjebak menyamakan “Jam’iyyah” ( Kepengurusan PBNU) yang ada sekarang, dengan prinsip dan pandangan “Jamaah” Nahdiyyin pada umumnya.
Seharusnya ummat sudah tidak harus kaget dan bingung lagi dengan fenomena seperti ini, karena bukankah ummat sudah terbiasa menyaksikan adegan yang serupa ditampilkan juga oleh beberapa partai berartribut dan berbasis Islam?
Bukankah Partai yang dulu didirikan sebagai wadah perjuangan ummat Islam sudah jauh lebih dulu mati- matian mendukung capres-cawapres no.01, bahkan berada di garis depan mendukung penuh penista Agama?
Jadi apa yang harus dibingungkan? Tidak ada bukan? Mereka punya hak menentukan pilihan, ummat juga memiliki hak mutlak yang sama dalam menentukan pilihan!
Ummat punya hak untuk tidak memilih capres-cawapres yang tidak layak dipilih menurut ummat, begitu pula caleg- caleg dari partai-partai yang diyakini ummat sudah tidak lagi mewakili aspirasi, visi -misi dan perjuangan ummat Islam. Sederhana sekali bukan? [RN]
Penulis, Ustadz Athian Ali M. Da’i
Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)