Tanggapan Atas Tulisan Asma Nadia “Bukan Pro Perzinaan” pada Republika, 2/2
PANJIMAS — Menelaah tulisan bunda Asma Nadia pada media Republika (2/2) mengenai RUU P-KS dengan judul “Bukan Pro Perzinaan” setidaknya menjadi kristalisasi pendapat umum masyarakat yang mendukung gagasan pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), namun sebaliknya bagi saya sendiri pendapat bunda Asma Nadia merupakan representasi pemikiran masyarakat yang keliru dalam menanggapi dinamika pemikiran yang terkandung dalam RUU P-KS, alih-alih ingin membedah substansi namun hanya isu permukaan yang diangkat dalam tulisan bunda Asma.
Untuk itu, dengan segala rasa hormat saya kepada bunda Asma Nadia selaku tokoh pejuang perempuan dan atas rasa kagum saya kepada beliau saya akan memberikan pendapat kritis apa yang menjadi subtansi persoalan dalam RUU P-KS ini.
Kekeliruan mendasar pendapat pada tulisan bunda Asma didasari dengan logika dan berujung pada saran, sebagai berikut:
Kekeliruan kesatu, bunda Asma mengatakan bahwa tidak menemukan ada kalimat yang menyatakan secara verbal pro perzinaan, pro LGBT dalam RUU P-KS.
Kekeliruan kedua, mengakui bahwa perzinaan (sukarela) dan LGBT (sukarela) memang tidak ada larangan nyata, namun bukan berarti RUU P-KS mendukung perzinaan dan LGBT.
Kekeliruan ketiga, menyarankan untuk membuat RUU antiperzinaan jika ingin melarang perzinaan (sukarela), membuat RUU antiaborsi sukarela jika belum puas terhadap aturan yang ada.
Kekeliruan keempat, jika ada keberatan atas aspirasi yang belum terakomodir dalam RUU P-KS maka jangan sampai menghambat pengesahan RUU ini.
Kekeliruan kelima, memposisikan kelompok yang kontra terhadap RUU P-KS karena mendasari pemikirannya untuk memasukkan pertimbangan unsur agama dan moralitas.
Itulah lima kekeliruan pemikiran dalam tulisan bunda Asma yang menurut saya sama halnya pemikiran kebanyakan masyarakat awam yang mendukung RUU P-KS, pemikiran bunda Asma juga sekaligus menunjukkan cara pandangnya (worldview) terhadap isi gagasan RUU P-KS yang saya anggap keliru.
Menanggapi kekeliruan pemikiran tersebut, bahwa untuk memahami isi pasal dalam RUU, ada baiknya terlebih dahulu membaca Naskah Akademik (NA) yang menjadi gagasan pemikiran lahirnya RUU tersebut. Dalam NA norma agama & moralitas menjadi salah satu sumber permasalahan kekerasan terhadap perempuan dengan pemaksaan penggunaan simbol-simbol agama terhadap perempuan. Sehingga norma agama tidak menjadi sumber inspirasi dalam penyusunan NA & RUU P-KS, terbukti dalam landasan filosofinya pun posisi agama tidak sama sekali dijadikan landasan pemikiran, sehingga sangat logis jika dalam Pasal 2 tidak adanya Asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam RUU P-KS.
Maka penyusun & pendukung RUU P-KS ini sangat beralasan menolak keras pemikiran kelompok yang kontra yang menjadikan agama dan moralitas sebagai dasarnya. Hal ini menjawab kekeliruan kelima mengenai wolrdview, yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap empat kekeliruan lainnya.
Bunda Asma Nadia mencari alasan pembenaran atas logikanya untuk membantah kelompok yang kontra dengan selalu merujuk kepada judul RUU yakni kata “Kekerasan”, sehingga persoalan zina dan LGBT sukarela tidak perlu diatur dan dilarang dalam RUU P-KS karena zina dan LGBT tidak dilakukan dengan kekerasan, paksaan, atau ancaman.
Bahwa logika terbaliknya adalah, bunda Asma ingin mengatakan “biarkan saja muda-mudi, anak-anak kita yang ingin berzina, biarkan saja orang-orang yang ingin melakukan homoseksual, biseksual, transgender dengan sukarela, tak perlu diatur dalam RUU P-KS karena perbuatan zina dan LGBT tidak termasuk perbuatan kekerasan seksual, sekarang yang darurat adalah tindakan kekerasan seksual”. Pandangan semacam ini sangat berbahaya bagi masyarakat, karena menafikan derita para orang tua yang anak-anaknya terjebak pada seks bebas, anak-anaknya yang terjebak pada perilaku seksual menyimpang.
Tanggapan untuk kekeliruan kesatu, kedua dan ketiga bahwa pada Pasal 11 ayat (2) RUU P-KS yang sengaja tidak memasukkan delik perzinaan, homoseksual, biseksual, transgender sebagai bagian dari kejahatan seksual, adalah bentuk dukungan para penyusun dan pendukung RUU P-KS terhadap delik-delik tersebut, pembenaran worldviewnya terletak pada judul RUU itu sendiri yakni “Penghapusan Kekerasan Seksual”, bukan Penghapusan Kejahatan Seksual.
Seharusnya para penyusun dan pendukung RUU P-KS ini menunjukkan keberpihakannya secara totalitas untuk melindungi kaum perempuan dan anak khususnya juga melindungi kaum laki-laki pada umumnya untuk menghapus segala bentuk tindakan seksual menyimpang, baik itu menyimpang dari sisi ajaran agama, moral dan medis.
Atas kekeliruan keempat, yang perlu diingat juga oleh bunda Asma bahwa RUU jika sudah menjadi UU maka ia akan berlaku sepanjang hayat manusia hingga UU itu dinyatakan tidak berlaku lagi dengan UU lainnya atau UU tersebut diganti. Maka, seyogyanya bunda Asma memikirkan potensi tindak kejahatan seksual yang setiap waktunya meningkat dan merajalela tanpa disadari oleh kita, terlebih lagi tantangan zaman kedepan bagi anak-anak dan orang tua akan semakin berbahaya, karena itu perlindungan totalitas terhadap segala bentuk kejahatan seksual harus dimaktub dalam RUU P-KS (Penghapusan Kejahatan Seksual).
Memandang dinamika pro kontra ini haruslah dilihat secara komprehensif dan menyeluruh, bukan hanya untuk kepentingan temporer, karena itu dinamika saat ini bukan soal menghambat, tapi soal kepentingan jangka panjang ummat manusia.
Bunda Asma seyogyanya pula tidak boleh membedakan antara perzinaan dengan paksaan dan perzinaan sukarela jika peduli terhadap kaum perempuan dan anak, karena perzinaan dengan paksaan dan sukarela itu sama-sama merusak tubuh perempuan secara fisik dan medis (penyakit HIV-AIDS) dan juga merusak moralitas bangsa Indonesia, hal inilah yang perlu bunda Asma sadari mengapa kelompok yang kontra terhadap RUU P-KS berjuang dengan gigih untuk memasukkan delim perzinaan dan LGBT, semata-mata untuk menjaga kemaslahatan ummat manusia hari ini dan seterusnya.
Kekeliruan bunda Asma yang mengatakan perzinaan sudah diatur dalam KUHP pun tidak tepat, karena KUHP hanya mengatur delik perzinaan hanya bagi mereka atau salah satunya yang sudah terikat hubungan perkawinan (Pasal 284 KUHP), dan soal pencabulan pun (homoseksual) hanya mengatur jika korbannya adalah anak (Pasal 292 KUHP).
Maka, tidak mudah hanya dengan mengatakan “terbuka ruang lebar untuk memperjuagkan aspirasinya membuat RUU lain di luar RUU P-KS”, bunda Asma juga harus memahami bahwa untuk membahas RUU itu berasal dari uang negara yang bersumber dari masyarakat, maka hak kelompok yang kontra juga untuk memberikan masukan pemikiran-pemikirannya agar RUU P-KS menjadi RUU yang ideal untuk melindungi segenap tumpah darah banhsa Indonesia; anak-anak, perempuan, laki-laki, yang hidup saat ini dan yang akan datang.
Oleh: Helmi Al Djufri, S.Sy., M.Si.
Aktifis HAM pada Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Jakarta