Oleh: Asyari Usman, Penulis adalah wartawan senior
Panjimas –Ppara duta besar negara-negara anggota Uni Eropa –sebanyak 18 orang— mendatangi markas Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi di Jalam Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta. Seperti biasa, tidak banyak media besar, khususnya televisi, yang memberitakannya. Untunglah peristiwa itu diangap tak begitu penting.
Jadi, apa yang penting?
Dulu, awal Mei 2017, 20 dubes Uni Eropa (UE) mendatangi Prabowo Subianto (PS) ke Hambalang –kediaman mantan Danjen Kopassus itu. Kunjungan ini belum lagi memperlihatkan ‘urgensi’. Walaupun begitu, kunjungan ini mulai menyelipkan sinyal ‘endorsement’ (lebih-kurang ‘dukungan halus’) kepada PS.
Adalah kunjungan yang terbaru kemarin itu, yang sangat krusial. Yang sangat penting. Tidak berlebihan untuk disebut sebagai ‘open statement’ (penyataan terbuka) UE tentang preferensi mereka menyangkut arah kepemimpinan Indonesia ke depan.
Etiskah UE menampakkan ‘endersement’ itu? Sebetulnya kurang etis. Tetapi, justru dari sinilah publik bisa menyimpulkan bahwa ada kekhawatiran yang besar di kalangan UE, atau Barat pada umumnya, terhadap arah yang ditempuh oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Apa yang mereka khawatirkan?
Yang sangat dicemaskan oleh UE adalah ekspansi pengaruh RRC yang sekarang merambah ke segala arah. Boleh dikatakan, ke mana pun Anda pergi di dunia ini, Anda akan menjumpai pengaruh China yang semakin besar. Kenyataan ini memang tidak terelakkan karena China telah menjadi kekuatan ekononi terbesar dunia, saat ini. China menjadi mitra dagang utama bagi lebih dari 120 negara.
Posisi ini membuat RRC memikili cadangan devisa asing (tak salah disebut sebagai ‘duit menganggur’) terbesar di dunia. Per Oktober 2018 ini, China menyimpan devisa sebesar USD3.2 (tiga koma dua) triliun dollar lebih. Atau, 3,200 (tiga ribu dua ratus) miliar dollar. Dalam angka: USD3,200,000,000,000. Dengan kurs dollar-rupiah pada angka 14,000, jumlah cadangan devisa RRC itu berarti 44,800 (empat puluh empat ribu delapan ratus ) triliun rupiah.
RRC menjadi negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia. Sebagai perbandingan, Jepang hanya USD1,259 (seribu dua ratus lima puluh sembilan) miliar. Swiss di tempat ketiga, USD804 (delapan ratus empat) miliar. Arab Saudi di posisi keempat, USD501 (lima ratus satu) miliar. Sedangkan Rusia di tempat kelima, USD460 (empat ratus enam puluh) miliar.
Dengan cadangan duit yang cukup besar itu, RRC menjadi kiblat baru. Negara-negara berkembang berduyun-duyun datang ke Beijing untuk mendapatkan pinjaman atau pun investasi langsung.
Tak ketinggalan Indonesia. RRC sekarang ini menjadi investor terbesar kedua setelah Singapura yang berinvestasi sebanyak USD8.4 miliar. Kombinasi investasi China dan Hong Kong tercatat USD5.5 miliar.
RRC masuk ke Indonesia dengan sangat agresif. Dan pemerintah Jokowi pun menunjukkan antusias yang sangat tinggi dalam memberikan peluang kepada Beijing. Sampai-sampai China diberi keistimewaan untuk membawa tenaga kerja mereka sendiri di berbagai proyek yang mereka biayai. Proyek tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, adalah salah satu contohnya.
Belakangan ini, rakyat Indonesia menunjukkan resistensi keras terhadap investasi China yang diberi keistimewaan itu. Ada kecurigaan di kalangan rakyat terhadap motivasi RRC membawa modal ke sini. Ditambah dengan sejarah pemberontakan PKI yang punya kaitan dengan RRC, kecurigaan rakyat semakin mengeras dan kemudian menjadi salah satau ‘underlying factor’ (faktor pendorong) dalam gelombang perlawanan terhadap Jokowi.
Rakyat tidak menginginkan Jokowi menang di pilpres 2019. Uni Eropa membaca perlawanan rakyat itu. Mereka tahu persis perlawanan yang direpresentasi oleh Prabowo itu sangat kuat.
Dan, perlawanan itulah yang diinginkan oleh UE. Sebab, di lain sisi, eskapansi investasi RRC juga dirasakan mengancam Barat. Mengancam dari sisi perekonomian, sosial dan politik. Program Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan RRC pada 2013, yang sering disebut ‘jalur sutra abad 21’, cukup mencemaskan Barat, termasuk UE.
Jika sukses, BRI akan memberikan jalan bagi RRC untuk menancapkan dominasi global di bidang ekonomi. Barat gerah terhadap ‘jalu sutra abad 21’. Sebab, dikhawatirkan China akan ‘menaklukkan’ negara-negara lemah di sepanjang jalur sutra melalui kredit bilateral. Negara-negara lemah itu bisa menjadi ‘boneka’ RRC kalau kredit mereka macet.
Itulah sebabnya ketika sekarang ini rakyat Indonesia melawan Jokowi karena dia dianggap akan memuluskan motivasi RRC, Uni Eropa pun memberikan semacam ‘dorongan semangat’. Memberikan ‘endorsement’ tadi itu. Mereka melihat kubu Prabowo perlu diberi isyarat bahwa masyarakat internasional mendukung rakyat Indonesia yang berjuang untuk menghadang ekspansi RRC dengan cara menghentikan Jokowi.
Kita perlu menyadari para dubes UE bisa saja nanti akan menyambangi kubu Jokowi sebagai basa-basi diplomatik. Untuk menepis anggapan bahwa UE partisan di pilpres 2019. (des)