Oleh:Yons Achmad, Pengamat Media. CEO Kanet Indonesia
(PANJIMAS.COM) — Media dengan gaya jurnalisme rasa. Itu kunci Kompas bertahan bahkan sampai saat ini masih menjadi koran terbesar di tanah air. Ini bukan penilaian saya. Tapi, argumen yang disimpulkan oleh Wijayanto (Wija), Dosen Fisip Undip, Semarang. Hal itu terungkap dalam diskusi Mingguan di kedai buku Cak Tarno Institute, komplek FIB Universitas Indonesia (UI).
Sayang, saya belum berkesempatan hadir dalam acara itu. Hanya membaca ulasannya di Kompas (17/12/18). Sebuah diskusi bertema “Biografi Kompas: Sejarah Hubungan Harian Kompas dan Kekuasaan, 1965-2015. Sebuah even menarik yang diangkat dari bahan disertasi Wija dengan judul “Between Fear and Power: Kompas Indonesia’s, Most Influential Daily Newspaper 1965-2015”.
Sebuah diskusi yang menyibak bagaimana perubahan rezim politik dan otoriter ke demokrasi ternyata tidak serta merta mengubah kultur jurnalistik Kompas. Cara memberitakannya tetap khas, yaitu cenderung sopan, hati-hati dan halus, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan. Soal jurnalisme rasa ini, saya kira akan tetap relevan di era apapun.
Mungkin, ada yang menganggap koran ini bersikap demikian karena ingin cari aman saja. Boleh-boleh saja menganggap demikian. Toh memang dalam sejarahnya, koran ini juga pernah “digebuk” oleh rezim Soeharto. Kompas pernah dilarang terbit pada 21 Januari 1978. Koran ini kembali terbit pada 4 Februari 1978 setelah menandatangani pernyataan tertulis yang isinya permintaan maaf dan berjanji tidak lagi memuat tulisan yang menyinggung penguasa.
Cicero, seorang filsuf asal Yunani pernah bilang “Historia magistra vitae est. Sejarah adalah guru kehidupan,” Barangkali, belajar dari pengalaman pernah “digebuk” inilah yang membuat Kompas punya ciri khas seperti terungkap dalam diskusi itu. Sopan, hati-hati dan halus. Selaras dengan apa yang kerap dituturkan oleh salah satu pendirinya, Jakob Oetama, “the message gets across”. Tetap menyuarakan kritik, tapi selalu berpegangan bahwa kritik selalu ada batasnya. Ini yang membuat Kompas selalu halus, santun, secukupnya, terukur, dan tidak berlebihan ketika melakukan kritik. Sebuah kritik ala Kompas yang konon tidak disampaikan dengan gaya bak singa mengaum.
Walaupun begitu, saya kira, kita juga perlu mendengar ujaran pendiri Kompas yang Lain, PK. Ojong, “Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengeritik orang yang sedang berkuasa.” Bagi saya, ini justru hal yang lebih penting lagi. Kenapa? Demi keseimbangan. Pers harusnya memang demikian adanya. Bukan menjadi, meminjam istilah filsuf Rocky Gerung sekadar sebagai “brosur pemerintah”. Ya, pers harus kembali ke asalnya. Menjadi yang terdepan dalam melakukan kritik terhadap penguasa.
Jurnalisme rasa, kini menjadi pilihan Kompas. Dalam kajian akademis, biarkan Koran ini berkembang dan bertahan sejalan dengan jati dirinya. Hanya, bagi mereka yang menginginkan sebuah koran yang terus melakukan kritik terhadap penguasa secara tajam, menukik, tanpa basa-basi, bukan Kompas pilihannya. Tapi, barangkali, Koran Rakyat Merdeka salah satu jawaban tepatnya. Atau, ada yang lain? []