Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial
(PANJIMAS.COM) — Media telah kehilangan salah satu fungsi, dengan tidak memberitakan berita yang sebenarnya punya “nilai jual” dilihat dari sudut mana pun. Memiliki bobot berita untuk diberitakan, tetapi tidak diberitakan. Maka media bersangkutan dapat dikatakan mengingkari kerja mulianya, mengkhianati korpsnya: media kehilangan fungsi memberitakan berita yang patut diberitakan, sebagai informasi pada masyarakat.
Media demikian memilih bekerja tidak pada fungsinya, cenderung memasuki wilayah politik praktis, dengan dukungan pada partai politik tertentu atau satu figur politisi, guna menghantam partai politik lainnya atau figur politisi lainnya.
Masyarakat disuguhkan berita yang tidak sebenarnya, bahkan acap dijejali berita yang terus digoreng dengan opini-opini menyesatkan. Nalar dan akal sehat masyarakat coba diperdaya dengan teknik pemberitaan framing pada opini yang dibuat, dan itu terus menerus diberitakan. Berharap lambat laun masyarakat akan tergiring pada opini yang dibuatnya.
Sedang realita sebenarnya yang patut diberitakan, tidak diberitakan. Pilih-pilih dan suka-suka media memberitakannya: Gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak. Inilah model pemberitaan media akhir-akhir ini.
Memuakkan nalar masyarakat yang tidak terkooptasi oleh opini-opini busuk. Media perjuangan sebagaimana digagas periode awal kemerdekaan yang memiliki karakter idealistik, baik pemilik dan awak media bersangkutan, saat ini tinggal cerita.
Sejumlah media dikuasai segelintir orang saja, baik dari kalangan pengusaha atau politikus. Karena itu, ada media yang sarat kepentingan bisnis dan corak partai politik tertentu. Dengan media yang dimilikinya, mereka mengendalikan media sesuai yang dikehendaki dan menjadikan awak media, para jurnalis, seolah robot tanpa nurani.
Bagi jurnalis yang masih punya idealisme dan nurani sehat, bingung memposisikan dirinya. Bingung jika harus hengkang ke mana nantinya dia mesti berlabuh, dan jika memilih tetap bekerja di dalamnya merupakan kesakitan batin dan moral tersendiri.
Sepi Pemberitaan
Anies Rasyid Baswedan disebut gubernur Indonesia. Adalah julukan kepeleset lidah dari Mendagri Tjahjo Kumolo terhadap Gubernur DKI Jakarta. Disampaikan Pak Menteri saat melantik Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Namun Tjahjo menampik, ungkapan itu diberikan kepada Anies, karena beban kerja Jakarta amat berat, di mana seluruh lapisan masyarakat dan suku yang ada di Indonesia berkumpul dan bekerja di ibu kota provinsi. Jadi layaklah jika Anies disebut gubernur Indonesia.
Setahun sebulan lebih kurang, Anies memimpin ibu kota, dan menorehkan banyak prestasi. Namun demikian, meski sarat prestasi, Anies tidak menjadi pilihan media arus utama untuk diberitakan. Tidak menjadi media darling. Beda dengan pendahulunya, Ahok yang terus diberitakan media khususnya ‘televisi berita’ tertentu saban waktu. Meski yang dilakukannya adalah pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya tidak punya nilai berita.
Kebiasaan Ahok tiap pagi dikerubuti orang-orang yang mengadu di Balai Kota, menjadi berita yang diulang, bahkan digoreng sampai gosong. Tidak persis tahu orang yang mengadu itu beneran atau orang upahan yang merupakan bagian dari setting pemberitaan pada tokoh yang dimaui. Kasihan Anies.
Dalam setahun ini (2018), Anies Baswedan, selaku Gubernur Jakarta menerima beberapa penghargaan dari lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta. Tapi itu sepi dari pemberitaan media arus utama –tidak termasuk media cetak Republika dan TVOne.
Pantaslah jika M. Saiful Jihad, Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS) memuji Anies dengan menyatakan, “Prestasi kepala daerah yang luar biasa. Jadi pantas meraih MURI.”
Ada sedikitnya 21 penghargaan dari instansi pemerintah yang diterima Anies. Sedangkan dari lembaga swasta Anies juga mendapatkan sejumlah penghargaan.
Pada 2018, Anies menerima penghargaan dari lembaga pemerintah, di antaranya tiga penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelenggaraan Pelayanan Publik Sangat Baik dan Layanan Prima dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi, Penghargaan Kualifikasi Badan Pemerintah Provinsi Paling Informatif dari Komisi Informasi Pusat, Penghargaan Indeks Demokrasi Indonesia (Provinsi dengan Indeks Demokrasi Terbaik dari BPS).
Penghargaan Universal Health Care: Jaringan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, Provinsi dengan Cakupan Jaminan Kesehatan Bagi Warga di Atas 95 persen (Ditingkatkan dari 78 persen menjadi 98 persen dalam waktu enam bulan) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Pemerintah Provinsi dengan Komitmen Tinggi Terhadap Pelaksanaan Pembinaan Sosial Bagi Anak Jalanan dari Kementerian Sosial, tiga penghargaan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Penghargaan 10 Kota Layak Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dan seabrek lagi penghargaan yang luput dari pemberitaan media arus utama.
Sementara Anies diganjar penghargaan dari lembaga swasta antara lain: Anugerah Obsession Award 2018 pada kategori Best Achiever in Regional Leader, Penghargaan Bapak Peningkatan Kompetensi Guru Indonesia dari IGI, Penghargaan Grand Property Award. Dan anugerah Moeslim Choice Award 2018 dalam rangka 1 st Anniversary Moeslim Choice Media.
Baru di era Anies, klub Persija sukses mengawinkan gelar Juara Liga 1 2018 dan Juara Piala President Cup 2018. Itu pun mendapat pemberitaan seadanya. Beda pemberitaan jika media memberitakan Presiden Jokowi yang selalu menjadi media darling. Menonton konser grup cadas Metallica saja mengundang kehebohan berita. Amat tidak adil memang.