Oleh M. Nigara, Wartawan senior, Mantan wasekjen PWI
(PANJIMAS.COM) — DULU, Jokowi bisa menang padahal belum berkuasa, apalagi sekarang. Dulu kekuasaan belum di tangan, belum dikenal secara nasional, belum bisa menggunakan apa saja untuk meraih kemenangan, rakyat sudah memberi kepercayaan.
Apalagi sekarang, dia presiden, kekuasaan ada dalam genggamannya. Apa saja bisa dilakukan. Secara kasat mata, kita sering melihat hal itu. Contoh yang paling menarik adalah kriminalisasi pada ulama, secepat kilat prosesnya. Bahkan tak ragu untuk segera ditersangkakan. Sementara jika orang yang diketahui mendukungnya, kasus atau laporannya seperti menguap begitu saja.
Jadi, sangat masuk akal jika pernyataan itu sering meluncur dari kubu petahana. Entah karena panik, entah karena apa pun, yang pasti mereka menganggap kalimat tersebut seperti bom nuklir.
Tidak ada yang salah, namanya juga orang berharap, tetapi, sesungguhnya kalimat-kalimat itu bukan apa-apa. Paling tidak dihadapan para pendukung Prabowo yang militan dan masif. Kalimat-kalimat tersebut justru semakin membakar semangat dan semakin memperkokoh dukungan ke Prabowo-Sandi.
Prabowo yang beda
Ya, tampaknya mereka lupa, Prabowo yang mereka hadapi saat ini, bukanlah Prabowo yang dulu. Sandiaga Salahuddin Uno cawapres yang tiba-tiba muncul, juga tak pernah mereka duga akan nemperkuat posisi Prabowo. Muda, santun, ramah, ganteng, secepat kilat jadi idola emak-emak. Nah, jika emak-emak bergerak, tidak ada yang bisa membendung.
Sekadar mengingatkan, saat gerakan Reformasi 1998, peran kaum ibu (sekarang emak-emak) tidak kalah hebatnya para mahasiswa. Kaum ibu bahu-membahu memberikan dukungan. Malah tidak sedikit yang menyambangi gedung DPR untuk memberikan makanan dan minuman menjelang Pak Harto lengser.
Kembali je Prabowo. Dulu, para pendukung Prabowo tidak seperti sekarang, sporadis dan mudah dipatahkan. Menurut info yang patut dapat dipercaya pilpres 2014 ada kecurangan. Kabarnya lagi, Prabowo sesungguhnya menang tipis, sama tipisnya dengan kemengan Jokowi, padahal pendukungnya tidak seperti sekarang.
Artinya, dulu para pendukung itu tidak terpanggil seperti saat ini. Dulu, mengumpulkan orang 10 ribu saja susahnya minta ampun. Sekarang? Saya tidak ingin lebay, saya hanya ingin menuliskan fakta saja. Aksi 212 yang pertama 2016, memang belum memberikan dukungan konkrit. Waktu itu, umat terpanggil karena kasus penghinaan Al-Maidah ayat 51 oleh Ahok. Peserta aksi menurut mbah Google 7 juta.
Lalu, aksi atau reuni 212 tahun 2017, juga masih belum terang-benderang memberikan dukungan. Belum ada calon presiden, tapi arahnya sudah mulai jelas bahwa mayoritas umat islam dan non muslim yang datang memberi isyarat tidak akan mendukung Jokowi lagi. Yang hadir hanya berkisar 2 juta umat.
Reuni Akbar 212/2018, pesertanya super dahsyat. Ada pihak yang mengatakan pesertanya mencapai 13,4 juta (berdasar
IMEI, internasional mobile equipment identity hp), ada juga yang menyebut 11 juta (prediksi tvone), ada pula yang menyebut 8-10 juta. Berapa pun itu, yang pasti tidak 40 ribu seperti pernyatan Polri, 100-500 bagi mereka yang ingin agar kubunya (pendukung petahana) tidak panik, terserah saja. Malah Kapitra Ampera yang baru menjadi politisi, mati-matian mengecilkan jumlah peserta aksi. Dan gagal.
Semua itu tidak penting. Mereka akui atau tidak, tidak mengubah apa pun. Toh, internasional mengakui jumlahnya menjadi yang terbesar di dunia. Bahkan Perdana menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, turun di aksi 812 yang mengikuti jejak 212 itu. Bahkan Erdogan, perdana menteri Turki, tokoh yang sedang jadi ikon dunia, menyebut aksi 212 adalah kebangkitan umat islam di dunia. Nah, jutaan umat itu secara terang-benderang telah memberi dukungan untuk Prabowo.
Masif dan militan
Hebatnya, sekarang mereka semua memperlihatkan militansi yang luar biasa. Hati mereka telah terpanggil. Dan, lazimnya orang yang hatinya terpanggil, apa saja mau mereka lakukan.
Maka jangan heran, dari tiga aksi raksasa 212 itu, mereka mendanai diri mereka sendiri. Malah tidak sedikit dari mereka yang menyediakan makanan dan minuman untuk peserta yang lain. Tak heran dalam tiga aksi itu, makanan, minuman melimpah ruah. Tak ada orang atau kelompol orang yang berebut makanan dan minuman.
Berebut? Ya, sekedar mengingatkan, di youtube pernah ramai terlihat orang ribut karena berebut makanan, minuman, dan amplop. Ya, adegan itu terjadi di acara 412, tandingan 212. Acara yang dihadiri oleh masa yang tidak mampu memadati bundaran hotel Indonesia dan bersamaan care free day lagi, tapi disebutkan oleh tv-tv pendukungnya (tanpa perasaan malu) jutaan peserta.
Ada lagi acara serupa saat menunggu kedatangan Ahok di penjara Cipinang. Jelas panitia berteriak-teriak meminta peserta aksi untuk Ahok tenang. Mereka berebut makanan.
Malah ada beberapa ibu-ibu yang ditanya tentang bayaran. “Janjinya sih Rp 75 ribu, tapi saya cuma dikasih Rp 40 ribu!” dalam event lain. Artinya, mereka bukan orang-orang yang terpanggil hatinya. Selebihnya, anda jawab sendiri.
Fakta ini yang alhamdulillah mereka lupakan. Mereka juga lupa bahwa saat ini rakyat bisa melihat dengan terang-benderang apa pun yang terjadi. Saat ini rakyat tidak bisa dibeli lagi. Bahkan belakangan kelompok emak-emak yang mengenakan kaos petahana tapi asyik menggelorakan dukungan untuk Prabowo.
Malah berulang adegan foto bersama petahana, tapi simbol yang dipertontonkan dua jari, simbol Prabowo-Sandi. Serta ada seorang ibu yang mengenakan hijab oranye menyapa petahaba: “Pak boleh ya berbeda,” katanya sambil mendekati sang petahana yang menjabat sebagai presiden. Begitu tepat di hadapan, sambil tersenyum lebar, tangan ibu itu menyiratkan simbol Prabowo.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Jawabnya sederhana, hati rakyat telah tetpanggil untuk melakukan perubahan. Dan, mayoritas rakyat tidak lagi buta dan tuli.
Jadi, kalimat apa pun yang akan diluncurkan oleh kubu petahana, insyaa Allah benteng hati rakyat telah kokoh. Kalimat apa pun yang mereka ucapkan, Prabowo yang sekarang bukan Prabowo yang dulu.**