Oleh: Yons Achmad, Pengamat Media
(Panjimas.com) — Di Metro TV, saya lihat dan dengar pengakuan La Nyalla. Dia mengakui dirinya sebarkan fitnah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), pemeluk agama Kristen, keturunan China. Dia sudah minta maaf ke Jokowi atas pengakuan ini dan sudah dimaafkan. Selesai? Tidak. Bagaimana publik mesti memaknai peristiwa politik yang sarat kepentingan ini? Kita lihat.
Saya akan meminjam pendekatan Jurgen Habermas penulis buku “The Teory of Communicative Action”. Dia membedakan tiga jenis tindakan berbicara. Tindakan demikian yang akan saya gunakan untuk membongkar pengakuan La Nyalla yang disebarkan secara massif di Metro TV Itu, media partisan pendukung Jokowi.
Pertama, Constantive (pernyataan). Tindakan untuk meyakinkan bahwa suatu proposisi adalah benar. Dia memberikan pernyataan kepada pers (publik), dialah yang menyebarkan informasi Jokowi PKI, Kristen dan keturunan China. Dia berusaha untuk meyakinkan publik kalau itu salah. Dia mengaku menyebarkan itu karena dulu dia berada dipihak oposisi. Pesannya, dia ingin meyakinkan publik kalau Jokowi tak seperti yang dia tuduhkan dahulu plus menghantam opisisi sekaligus.
Kedua, Regulative (pengaruh). Tindakan untuk memengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain atau pihak lain. La Nyalla, mencoba meyakinkan orang-orang terdekatnya, atau pihak lain yang saat ini berada di kubu opisisi untuk tak memercayai isu Jokowi PKI, Kristen, keturunan China dan seterusnya. Pesan-pesan demikian tentu disiarkan di media-media pendukung petahana. Apakah yang disampaikan La Nyalla punya dampak? Jelas. Petahana diuntungkan, opisisi dirugikan.
Ketiga, Avowal (pengakuan). Tindakan pengakuan sekaligus mengekspresikan kondisi internal pembicara, menyuarakan diri, atau untuk menunjukan siapa jati dirinya. Untuk membangun otoritas, dalam pengakuannya, dia membawa-bawa kisah masa lalu sebagai tim pemenangan Prabowo.
Dia sedang mencoba membangun kesan sebagai tokoh yang begitu paham persoalan. Dengan “otoritas” demikian, berharap orang percaya omongannya. Sebuah pengakuan kontroversial dan pasti bakal “digoreng” media corong petahana dengan gegap gempita. Lagi-lagi, apa publik percaya? Belum tentu.
Melihat narasi demikian, bagaimana publik menyikapinya? Seperti kita tahu, publik semakin cerdas. Era medsos sekarang ini, orang tak mudah percaya begitu saja pengakuan tokoh-tokoh petualang politik. Apalagi, bagi aktivis gerakan yang melek politik. Pengakuan demikian bisa jadi hanya sebuah lelucon.
Di ranah intelektual, kita bisa menafsirkannya dengan mengikuti “arahan” Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku “populernya” “The Social Construction of Reality” (Tafsir Sosial Atas Kenyataan). Dalam sebuah dialektika, pemahaman atas realitas, menurut mereka, melalui tiga tahap yaitu eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi.
Melalui tiga tahap ini, kita bisa memaknai dan sekaligus membongkar pengakuan La Nyalla yang sungguh konyol itu.
Di tahap eksternalisasi, “Kubu sebelah” tentu akan memanfaatkan pengakuan ini untuk menyerang opisisi, terkait tingkah polah oknumnya di masa lalu. Tapi, pikiran dan pengakuan kotor La Nyala, tentu tidak serta merta bisa diterima oleh mereka yang berpikir jernih. Biarkan La Nyala membangun realitasnya sendiri. Tapi, kita juga tetap punya pandangan masing-masing.
Selanjutnya, proses obyektivikasi menjadi penting. Bagi saya, La Nyala hanyalah orang kecewa terhadap Prabowo, yang pada pilkada Jatim lalu, tak dipilih menjadi kandidat calon gubernur. Akhirnya, banting setir mendukung Jokowi-Makruf. Dan dalam politik, dia harus menunjukkan bukti kesungguhan mendukung petahana. Akhirnya, muncullah pengakuan tersebut.
Sebuah engakuan sekaligus, propaganda politik. Tapi, saya yakin, operasi narasi ini tidak bakal sampai kepada proses internalisasi (penanaman kesadaran) kepada publik awas dan waras. Bahkan, boleh dibilang, operasi narasi ini gagal total. Bangunan kesadaran kita bakal menolak logika-logika sarat kepentingan ala La Nyalla.
Pada akhirnya, sebenarnya kita bisa membaca fenomena demikian dengan sederhana. Memang terdapat dua perspektif memadangnya. La Nyalla, bagi kubu petahana mungkin dianggap pahlawan. Sama seperti misalnya Ngabalin, Kapitra Ampera atau Yuzril Ihza Mahendra. Tapi, bagi kubu oposisi, sangat jelas, orang-orang ini hanyalah pengkhianat tengil yang kelak bakal menerima konsekuensi logis atas sikap politiknya.
Yang pasti dalam kasus ini, La Nyalla boleh-boleh saja dengan alur pikirnya. Termasuk sebuah kesan lanjutan yang ingin ditampilkan bahwa kubu oposisi terbukti menyebarkan hoaks. Bahkan produsen hoaks. Tapi, sekali lagi, publik tak mudah tertipu dengan propaganda murahan, yang disebarkan oleh stasiun TV semacam Metro sekalipun. La Nyalla, ibarat politisi yang hampir tenggelam. Dia akan menyelamatkan diri dengan berpegang apa saja. Yang paling mudah dan aman sekarang memang menjilat petahana, tak peduli ketika harus menyerang kawan-kawan lamanya. []