Oleh: Yons Achmad, Pengamat media
(Panjimas.com) — Saya sebenarnya agak alergi dengan sesuatu yang berbau “Post”. Bahkan kalau itu misalnya “Post Islamisme” sekalipun. Saya menolak “Post Islamisme”. Kenapa? Bagi saya, “penganut” “Post Islamisme” semacam makhluk yang tergesa-gesa dalam mengeksplorasi gagasan Islam untuk perubahan. Ketidaksabaran dalam pergerakan menjadikan mereka kurang percaya diri dengan gagasan “Islamis” yang sekian lama dipercaya membawa angin perubahan.
Gagasan “Post Islamisme” saya kira bakal gagal. Kenapa? Karena hanya bisa terombang-ambing, tak jelas mau ke mana. Lagi pula, mereka toh tak berani melangkah jauh ke pulau misalnya “Sekularisme”. Hasilnya, “Post Islamisme” hanya istilah yang tampak mewah, tapi sebenarnya stagnan, tidak jelas arahnya dan malah bakal kehilangan identitas otentiknya. Bagi saya “Islamisme” tetap masih relevan dan belum menemui jalan buntu. Walau, apa boleh buat, kerap mendapat cibiran, nyinyiran plus stigma konservatif ketika “wacana” itu masih digulirkan.
Kini, muncul lagi diskursus mengenai “Post Truth” (pasca kebenaran). Apa-apaan ini? Dan lagi-lagi, mohon maaf, saya menolaknya. Tentang “Post Truth” sendiri, saya akui hanya sedikit membaca referensi terkait dengan itu. Hanya, saya sempat hadir dalam sebuah seminar di FIB Universitas Indonesia (UI) dan sedikit mendapat pencerahan tentang apa itu “Post Truth”.
Haryatmoko, sebagai pembicara, mengutip J.A Llorente (2017) dalam “The Post-Truth Era” menjelaskan “Post Truth” sebagai iklim sosial politik di mana obyektifitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Era “Post-Truth” mendapat momentumnya karena massa jenuh dan membenci limpahan pesan dan rayuan: semua berujung meminta untuk membeli, mengonsumsi, memilih, memberi pendapat atau bagian di kehidupan sosial.
Penjelasan lebih “ringan” lagi bisa dilihat dalam Kamus Oxford yang menyebut kata “Post-Truth” sebagai “kata tahun ini”. Dari kamus Oxford itu, “Post Truth” didefinisikan sebagai situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif. Dari definisi demikian, maka wajar ketika kemudian beberapa pakar meyakini bahwa hoaks adalah anak kandung era “Post-Truth”. Bahwa kabar bohong kemudian menjadi wajah paling nyata dari “Post Truth” itu sendiri.
Kini, kita berada diera ini. Itu sebabnya, saya kira, kita mesti kembali ke wajah semula, wajah kebenaran. Dan, ketika bicara kebenaran, filsafat barangkali menjadi “sosok” agung yang bakal membawa manusia menuju kebenaran.
Heidegger, filsuf asal Jerman misalnya, selalu memberikan “fatwa” tentang ada. Ya, manusia akan memperoleh jawaban ketika melakukan pencarian tentang ada dalam sepanjang sejarah kehidupannya. Saya kira, hal ini juga terkait dengan pencarian tentang kebenaran. Adakah kebenaran? Itulah ada (being). Kenapa? Sebab kalau hanya mengada-ada (beings), itu bukanlah ada. Artinya, itu bukanlah kebenaran.
Begitulah. Filsafat memang memberikan petualangan intelektual yang mengasyikkan ketika membicangkan kebenaran. Tapi, bagi saya, filsafat tetap bukan “media” untuk mendapatkan kebenaran. Dia, bagi saya, hanya memberikan semacam beragam alternatif atas segala sesuatu, sehingga kita bisa memandang setiap persoalan, sekaligus menyikapinya dengan cakrawala yang lebih luas dan bijak.
Soal kebenaran, lagi-lagi saya belum berani berspekulasi untuk memercayai filsafat sepenuhnya. Saya bakal yakin dan tenang ketika wajah kebenaran dikembalikan dalam cakrawala agama. Mungkin, terlihat naif. Tapi, itulah sikap”politik” yang saya percayai sekarang ini.
Setelah jelas posisinya, sekarang, alangkah baiknya kita fokuskan penerawangan kita mengenai “Post Truth” ini ke jantung kekuasaan, bukan di ranah masyarakat (publik). Kenapa? Karena saya melihat, sekarang ini narasi yang dibangun adalah penciptaan mitos-mitos politik. Ambil contoh, presiden Jokowi dalam pidatonya kerap sekali mengajak untuk menghindari hoaks, ujaran kebencian, politisasi agama. Seolah masyarakat sumber segala macam itu, sementara jantung kekuasaan seolah terbebas dari hoaks, ujaran kebencian dan politisasi agama. Mitos demikian harus dibongkar.
Fakta mesti dikedepankan, bukan mitos-mitos politik. Mitos tentang mobil nasional Esemka, mitos rupiah menguat, atau yang paling banyak digemborkan, mitos infrastruktur. Di Papua misalnya, pembangunan infrastruktur digembar-gemborkan, padahal presiden sebelumnya telah mengawalinya dan capaian dinilai lebih bagus dari pembangunan 4 tahun belakangan. Mitos itu pada akhirnya terbongkar dengan sendirinya, setelah proyek memakan korban puluhan pekerja tewas dalam proyek “pencitraan” itu.
Kini, di era “Post Truth” ini, siapa yang paling bertanggungjawab? Jawabannya adalah media. Persoalannya, di era medsos sekarang ini, siapapun bisa menjadi “media”. Siasat penyelamatannya, di ranah individu, pemahaman tentang literasi media, termasuk di dalamnya, etika komunikasi, mesti terus diupayakan. Di ranah mainstream, media seharusnya bertanggungjawab, seperti maklumat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya “The Elements of Journalism” bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, bukan yang lain.
Pertanyaannya sekarang, apakah kebenaran ini bisa terus kita rawat, di era media yang menyitir Rocky Gerung sudah banyak sekadar menjadi “brosur pemerintah”? Kita sudah tahu jawabannya. Itu sebabnya, apa boleh buat, kewarasan bermedia sekarang tak boleh diserahkan begitu saja kepada media arus utama. Inisiatif publik memunculkan individu-individu yang cerdas bermedia, munculnya media alternatif, termasuk media-media Islam seharusnya bisa menjaga akal sehat arus informasi diera “Post Truth” ini. []