(Panjimas.com) – Peristiwa perusakan Baliho selamat datang SBY, bendera hingga spanduk Partai Demokrat (PD) di Pekanbaru, Riau, patut disayangkan. Apalagi, Bendera dan baliho ini dirusak dan dibuang ke parit. Terhadap hal ini, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir di Pekanbaru dalam rangka kunjungan kerja sejak Jumat (14/12), bersama elite PD menyusuri jalan mengecek kondisi ini.
Perusakan bendera, Baliho dan atribut partai merupakan tindakan pelecehan dan penodaan terhadap partai dan tokoh partai yang ada pada baliho. Karenanya, wajar jika SBY marah dan merasa direndahkan. Segenap kader partai Demokrat juga berhak marah, karena selain merendahkan atribut partai, perusakan baliho juga merendahkan Marwah sosok SBY sebagai simbol pimpinan partai.
Anehnya, Kapitra Ampera politisi PDIP justru mempersoalkan SBY dan melaporkannya ke kepolisian Polda Riau. Entah apa yang dipersoalkan, yang jelas modus menyerang untuk bertahan terlalu kentara dalam kasus ini. Pelaporan oleh kapitra, lebih kental nuansa politiknya ketimbang ikhtiar menegakkan hukum.
Demokrat sendiri, belum mengambil langkah hukum. Secara hukum, kasus perusakan bendera dan atribut partai terkategori delik umum. Bukan delik aduan yang membutuhkan tindakan hukum dari Demokrat, kepolisian secara mandiri dapat melakukan penyelidikan pada kasus dimaksud.
Peristiwa ini justru mengingatkan penulis pada kasus pembakaran bendera tauhid di Garut, beberapa waktu yang lalu. Apa yang terjadi di Garut, lebih dahsyat ketimbang apa yang dialami Demokrat disebabkan beberapa hal :
Pertama, bendera tauhid adalah bendera umat Islam. Membakar bendera tauhid, bukan saja menghina dan melecehkan martabat orang tertentu, ormas tertentu atau partai tertentu. Tetapi telah secara nyata menghina dan melecehkan martabat dan kehormatan umat Islam, bukan hanya umat Islam di Indonesia tetapi umat Islam diseluruh dunia.
Kedua, tindakan pelecehan tidak saja dengan cara dirusak tetapi dibakar. Cara membakarnya juga terbuka, didepan publik, dengan sorak sorai dan nyanyian penuh kebanggaan. Cara menghinakan dan merendahkan bendera tauhid seperti ini, tentu lebih menyakitkan ketimbang sekedar dirusak secara mengendap dan bersembunyi.
Ketiga, ada pengakuan legal formal dari oknum pimpinan institusi ormas bahwa pembakaran dibawah kendali dan kontrol struktur pimpinan ormas. Hanya saja, pembakaran berdalih yang dibakar bendera ormas HTI, berdalih ingin memuliakan dan mengamankan kalimat tauhid.
Keempat, tindakan pelecehan dan penghinaan bendera tauhid makin parah ketika negara yang seharusnya mewakili umat, menindak pelaku dengan pasal penodaan agama. Nyatanya, pelaku justru hanya dipersoalkan dengan pasal 174 KUHP, dan bukannya dipersoalkan dengan pasal 156a KUHP.
Kelima, putusan atas kasus pembakaran bendera tauhid sangat menyakiti umat Islam. Seperti tambah meledek dan menghinakan, dengan putusan 10 hari pidana dan denda 2000 rupiah.
*
Keenam, negara yang diwakili Pemerintah tetap saja keukeuh menolak memberikan pengakuan terhadap eksistensi bendera tauhid sebagai bendera umat Islam. Negara, berdalih tidak memiliki kapasitas karena bukan domain negara untuk menetapkannya.
Berkaca pada kasus pembakaran atribut Demokrat, maka dapat dipahami betapa sakit dan perihnya batin kaum muslimin atas tragedi pembakaran bendera tauhid. Lebih pedih, karena rezim zalim ini justru mengambil posisi ‘pasang badan’ untuk melindungi pelaku kriminal, penista bendera tauhid.
Maka wajar jika kemudian kaum muslimin berhimpun dalam aksi bela tauhid, reuni 212 di Jakarta dengan jumlah massa melebihi aksi 212 yang pertama. Kenyataan ini menunjukan, bahwa umat Islam tidak ridlo dan marah simbol agamanya dilecehkan. Pelecehan oleh oknum ormas Islam, lebih menyakitkan karena bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama Islam tidak kenal kalimat tauhid ? Bagaimana mungkin orang yang di dadanya ada kalimat tauhid, secara enteng bahkan bersukaria membakar bendera tauhid ?
Karena itu, penulis setuju dan mendorong partai Demokrat untuk mengambil langkah hukum dan politik untuk mempersoalkan perusakan atribut dan baliho Demokrat. Agar rezim ini paham, merusak bendera partai saja bermasalah, apalagi membakar bendera tauhid!
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT