(Panjimas.com) – “Saya datang ke beliau (Jokowi), saya minta maaf. Bahwa saya yang isukan Pak Jokowi PKI. Saya yang fitnah Pak Jokowi Kristen, China. Saya yang sebarkan (Tabloid) Obor Rakyat di Jawa Timur, Madura. Akhirnya saya datang ke beliau dan sampaikan, saya mau minta maaf tiga kali. Alhamdulillah dimaafkan, ya sudah,” kata La Nyalla saat berkunjung ke kediaman Ma’ruf Amin di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta, Selasa (liputan6.com, 11/12/2018).
Ada tiga substansi dugaan tindak pidana yang yang dilakukan oleh La Nyalla Mattaliti :
Pertama, dugaan tindak pidana fitnah dan pencemaran nama baik berdasarkan ketentuan pasal 310 KUHP atau pasal 27 ayat (3) UU ITE jika didistribusikan melalui media elektronik, merujuk pernyataan La Nyalla yang menyebut Jokowi PKI, Kristen & China.
Kedua, dugaan tindak pidana menebar kebencian dan SARA jika didistribusikan melalui media elektronik atau melanggar UU penghapusan RAS dan Etnis, khususnya pasal 28 ayat (2) UU ITE dan pasal 16 UU No. 40/2009, merujuk pernyataan La Nyalla yang menyebut Jokowi Kristen & China.
Ketiga, dugaan tindak pidana menyebar berita bohong yang menimbulkan keonaran ditengah publik, khususnya merujuk Pasal 14 dan Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, merujuk pernyataan La Nyalla yang menyebut Jokowi PKI, Kristen & China.
Perlu diketahui, La Nyalla tidak dapat dipersoalkan dengan pidana penghinaan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP. Sebab, MK telah membatalkan pasal penghinaan Presiden melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
La Nyalla menyatakan telah mengakui perbuatan dan meminta maaf kepada Pak Jokowi. Permintaan maaf La Nyalla dan permaafan Pak Jokowi tidak menghilangkan unsur pidana yang telah dilakukan.
La Nyalla, hanya terbebas dari kasus pertama yakni dugaan tindak pidana fitnah dan pencemaran nama baik berdasarkan ketentuan pasal 310 KUHP atau pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebab, karena pasal ini terkategori delik aduan. Sepanjang Pak Jokowi tidak melapor ke penyidik, La Nyalla tak dapat dipersoalkan secara hukum berdasarkan pasal fitnah dan/atau pencemaran nama baik.
Namun, kasus kedua dan kasus ketiga berupa dugaan tindak pidana menebar kebencian dan SARA, melanggar UU penghapusan RAS dan Etnis (seperti diterapkan pada kasus Habib Bahar Bin Smith) dan tindak pidana menyebar berita bohong yang menimbulkan keonaran ditengah publik (seperti kasus Ratna Sarumpaet), sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE jo. pasal 16 UU No. 40/2009 Jo. Pasal 14 dan Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 tahun 1946, ADALAH DELIK PIDANA UMUM YANG BISA LANGSUNG DIPROSES OLEH PENYIDIK TANPA PERLU ADUAN DARI PAK JOKOWI. Permintaan maaf dan pemberian maaf, tidak menghilangkan undur pidana. Permintaan maaf dan pemberian maaf hanya bisa dijadikan alasan yang meringankan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan.
Karena itu, demi hukum, demi asas persamaan dimuka hukum, demi keadilan dan kepastian hukum, LA NYALLA HARUS DIPROSES PIDANA. Jika tidak, maka benarlah anggapan publik bahwa hukum diterapkan secara tebang pilih. Tajam kepada oposisi, sementara tumpul kepada siapapun yang merapat ke rezim Jokowi.
Dalam prosesnya, La Nyalla juga wajib ditahan saat berstatus sebagai tersangka karena dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan tindak pidana lagi. Seseorang yang mampu berdusta dan menebar fitnah ditengah publik, sangat mungkin untuk mengulangi perbuatannya, meskipun kemungkinan itu tidak lagi ditujukan kepada Pak Jokowi. Lawan politik Pak Jokowi, sangat berpotensi menjadi korban Fitnah dan dusta yang mungkin diproduksi La Nyalla.
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT