(Panjimas.com) – Sebagaimana diketahui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah mengeluarkan sejumlah anggaran berupa bantuan medis dan psikososial untuk korban peristiwa 1965. Tidak diketahui peristiwa apa yang dimaksud, korban pelanggaran HAM apa, dan siapa pelaku pelanggaran HAM dimaksud.
Hanya saja LPSK menyatakan mengeluarkan bantuan karena pihak pemohon telah mendapatkan Surat Keterangan Korban dan/atau Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat (SKKPH) yang dikeluarkan Komnas HAM RI. Karenanya, Yayasan Masyarakat Peduli Sejarah bersama Centre For Indonesia Comminity Studies (CFICS) dibawah asuhan Pak Arukat, bersama sekitar 50 orang yang peduli sejarah dari Jatim (Surabaya, Nganjuk, lamongan, dll) melakukan perjalanan menggunakan Bus untuk mempertanyakan ihwal SKKPH ini ke Komnas HAM (Senin, 10/12).
Keterangan Komnas HAM penting, sebab jangan sampai ada anggaran negara yang dikucurkan melalui LPSK salah Alokasi. Perlu diperjelas, siapa yang dimaksud sebagai korban HAM peristiwa 1965. Jika korban dimaksud adalah terkait peristiwa pemberontakan PKI, dan korban adalah eks PKI atau keluarga eks PKI yang mengklaim sebagai korban HAM, ini tentu berbahaya bagi sejarah dan peradaban masa depan bangsa.
Kekhawatiran Pak Arukat dan tim dari Surabaya adalah adanya upaya memanipulasi sejarah, dimana PKI meminjam tinta kekuasaan mengubah narasi dan menulis ulang sejarah PKI sebagai pelaku pemberontakan menjadi korban HAM melalui terbitnya SKKPH Komnas HAM. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Sejarah adalah bagian penting dari peradaban sebuah bangsa, jangan sampai kekejian komunisme PKI dimanipulasi sehingga segenap anak bangsa ini lupa sejarah bahkan ikut terbius dengan slogan dan jargon kosong komunisme dan sosialisme PKI.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (5) Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor: 001A/PER.KOMNAS HAM/II/2014 Tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Korban dan/atau Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, dijelaskan bahwa Korban adalah orang perseorang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelangaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. Dari informasi media yang kami baca, tidak ada satupun keterangan yang menjelaskan SKKPH Komnas HAM diterbitkan atas peristiwa pelanggaran berat HAM apa yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Jika ditinjau dari asepek prosedur atau tata cara dikeluarkannya SKKPH Komnas HAM R.I., terdapat persoalan hukum yang menurut kajian kami perlu ditindaklanjuti untuk dimintakan klarifikasi kepada Komnas HAM R.I. sebagai berikut :
Pertama, jika ditinjau dari definisi korban yang merujuk pada ketentuan pasal 1 ayat 5 Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor: 001A/PER.KOMNAS HAM/II/2014, Tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Korban dan/atau Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, maka sebelum memberikan Keterangan Sebagai Korban seharusnya KOMNAS HAM R.I. melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap peristiwa hukum yang diduga merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat. Korban adalah orang perseorang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelangaran hak asasi manusia yang berat. Karena itu KOMNAS HAM R.I. sebelum menerima pengaduan dan mengeluarkan SKKPH wajib melakukan penyelidikan untuk menentukan :
1. Peristiwa Pelanggaran HAM apa yang terjadi pada kurun tahun 1965-1966 ?
2. Siapa Pelaku yang diduga melakukan Pelanggaran HAM pada kurun tahun 1965-1966 ?
Dengan diketahui secara jelas peristiwa dan pelaku kejahatan pelanggaran HAM kelas berat pada kurun tahun 1965-1966, barulah dapat diketahui siapa saja dan berapa orang baik perseorangan atau kumpulan orang, baik pribadi atau ahli warisnya, yang menjadi Korban Pelanggaran HAM pada peristiwa tahun 1965-1966. Data ini tidak dapat diketahui kecuali dengan meminta informasi, keterangan, konfirmasi dan klarifikasi langsung dari KOMNAS HAM RI selaku lembaga yang menegeluarkan SKKPH.
Hanya saja patut untuk dicermati, bahwa pada kurun tahun 1965-1966 di Indonesia terjadi peristiwa berdarah berupa Pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dalam sejarah sebagai Gerakan 30 S/PKI. Jika SKKPH merujuk peristiwa pemberontakan PKI maka Pelaku Kejahatan HAM adalah para pemberontak yang berhimpun pada Partai Komunis Indonesia beserta seluruh underbownya. Sementara korban atau keluarga korban adalah rakyat sipil dan militer yang terdiri dari para Jenderal, kiyai, prajurit dan rakyat biasa khususnya umat Islam yang terhimpun dalam berbagai organisasi massa, yang saat itu melakukan perlawanan (NU dan Ansor).
Partai Komunis Indonesia beserta ajaran dan ideologinya telah dibubarkan dan dinyatakan sebagai Organisasi Terlarang, berdasarkan Ketetapan MPRS (TAP MPRS) Nomor XXV/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan PKI sebagai Organisasi Terlarang diseluruh Wilayah Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Kedua, prosedur untuk memperoleh SKKPH sangat longgar dan formalis dan tidak dapat menjamin substansi materiil dari definisi atau mewakili sebagai korban yang sesungguhnya, dikarenakan :
1. Untuk mendapatkan SKKPH tidak membutuhkan ketetapan pengadilan sehingg proses untuk melakukan ferifikasi dan memberi status korban tidak berdasarkan suatu proses pembuktian di persidangan yang terbuka untuk umum, sehingga memungkinkan khalayak dan berbagai pihak dapat memberikan koreksi atau klarifikasi atas informasi, keterangan dan data-data yang diajukan Pemohon SKKPH;
2. Prosedur diterbitkannya SKKPH merujuk pasal 3, 4 dan 5 Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor: 001A/PER.KOMNAS HAM/II/2014 Tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Korban dan/atau Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, dapat disimpulkan hanya berdasarkan pengakuan dan keterangan saksi sepihak dari Pemohon tanpa ada mekanisme untuk memferifikasi apakah pemohon adalah korban HAM atau justru sebaliknya Pelaku Korban HAM;
3. Dilibatkannya organisasi korban yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah korban pelanggaran HAM yang berat sebagai syarat dikeluarkannya SKKPH Komnas HAM (pasal 5 huruf c), menyebabkan Otoritas pemberian status Korban bukan berdasarkan peristiwa pelanggaran HAM yang benar-benar terjadi, tetapi atas deklare atau keterangan yang dikeluarkan Organisasi Korban yang mudah dibentuk oleh siapapun dalam bentuk Yayasan. Organisasi seperti Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) yang diketuai Bedjo Untung, dapat menjadi stempel legitimasi untuk menerbitkan SKKPH Komnas HAM.
Informasi media yang kami baca menunjukan data pada laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tahun 2013 menyebutkan telah menerima permohonan perlindungan korban sebanyak 1.555 permohonan, dari data 1.555 Permohonan LPSK hanya menyebutkan 1.151 pemohon berasal dari Korban Pelanggaran HAM berat tanpa merincinya. Korban HAM tahun 1965 yang didampingi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) yang diketuai Bedjo Untung telah mendapatkan pelayanan kesehatan dari akses anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). pada tahun 2016 LPSK mendapat anggaran Rp. 67 Miliar, tahun 2017 sebesar 75,9 miliar dan angka ini jauh lebih kecil dibanding anggaran tahun 2015 yang nilainya mencapai 160 miliar. Penurunan anggaran yang diterima LPSK ini diakui membuat kualitas pelayanan kesehatan bagi Korban menurun dan bahkan sebagiannya di konversi melalui layanan Badan Pelayanan Jasa Kesehatan (BPJS).
Karena itu, Komnas wajib memberikan klarifikasi atas SKKPH yang telah diterbitkan terkait peristiwa 1965. Yayasan masyarakat peduli sejarah dan CFCIS selain meminta transparansi Komnas HAM juga menyatakan secara tegas menolak diterbitkannya SKKPH Komnas HAM terkait peristiwa 1965.
Peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 telah menjadi bagian sejarah kelam bangsa ini, terhadap hal itu bangsa ini telah melakukan rekonsiliasi subtantif dan menutupnya sebagai bagian dari masa lalu. Segenap elemen anak bangsa, telah berkomitmen untuk bersinergi membangun masa depan bangsa dan saling memaafkan apa yang telah menjadi bagian dari sejarah.
Hanya saja jika ternyata SKKPH ini benar adanya diberikan kepada eks PKI, sementara korban kebengisan PKI baik para Jenderal, ulama dan umat Islam tidak dipertimbangkan sebagai korban, maka terbitnya SKKPH ini sama saja membuka luka lama dan memantik dendam sejarah. Dalam hal ini, penulis yakin Komnas HAM dapat berfikir bijak dalam menyelesaikan persoalan.
Komnas HAM melalui ketuanya berjanji dalam waktu sebulan akan mengkaji dan menindaklanjuti aduan yayasan masyarakat peduli sejarah dan CFCIS dibawah asuhan Pak Arukat. Rombongan Pak Arukat, setelah merasa cukup menyampaikan aspirasi dan hasil kajian kepada Komnas HAM, kembali ke Surabaya menggunakan armada bus yang telah siap menunggu.
Penulis sendiri merasa haru dan sangat bahagia, bisa mendampingi Pak Arukat dan rombongan yang dengan usia yang sudah tak lagi Musa, masih tetap semangat memikirkan nasib dan masa depan bangsa ini. Semoga kami yang muda, dapat meniti jalan keistiqomahan mengikuti jalan perjuangan para pendahulu kami, yang Istiqomah membela agama, bangsa dan negara.
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT