[Catatan Hukum Proses Pemeriksaan Kasus Dahnil Ahzar Simanjuntak]
(Panjimas.com) – Kasus pemanggilan terhadap Dahni Ahzar Simanjuntak dalam posisinya sebagai Ketua Pimpinan Pemuda Muhammadiyah banyak menuai kritik publik. Secara hukum proses ini terkesan dipaksakan, secara politik bagi siapapun yang peka terhadap dinamika politik pasti tidak akan melepaskan kasus pemanggilan ini dengan kontestasi Pilpres, lebih khusus posisi Dahnil sebagai Juru Bicara salah satu pasangan Capres – Cawapres.
Secara hukum, proses ini boleh saja diklaim sebagai bagian dari proses penyelidikan biasa. Jika unsur pidana tidak terpenuhi, penyidik mudah saja menghentikan kasus. Sepanjang ada dugaan, penyidik berdasarkan wewenangnya dapat memanggil pihak-pihak terkait untuk diambil keterangannya.
Hanya saja, secara politik pemanggilan ini berdampak luas, apalagi Framing jahat di media mainstream dan media sosial, khususnya yang diedarkan oleh kubu politik pro rezim, telah menggiring opini publik untuk menghakimi Dahnil, bahkan bukan hanya terhadap Dahnil tapi juga terhadap persyarikatan Muhammadiyah. Dahnil -termasuk Muhammadiyah- telah divonis sepihak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai pelaku korupsi, berdalih proses penyelidikan yang belum jelas juntrungannya.
Seliweran isu korupsi tentu sangat mengganggu Dahnil dan juga persyarikatan Muhammadiyah. Anggaran kemenpora yang disalurkan kepada Pemuda Muhammadiyah, yang diakadkan untuk membantu kegiatan kemenpora, justru menjadi objek pemeriksaan yang dipersoalkan.
Berdasarkan keterangan Dahnil, anggaran itu tak hanya diberikan kepada Pemuda Muhammadiah, tetapi juga kepada Anshor NU pimpinan Yaqut. Bahkan, anggaran untuk Ansor lebih besar ketimbang untuk pemuda Muhammadiyah.
Hal-hal yang perlu didalami dan ini tentu membuat penulis miris dengan kondisi penegakan hukum di negeri ini, dari hasil pencermatan penulis sebagai berikut :
Pertama, tentang ada tidaknya tafsir kerugian negara, sehingga kasus yang menimpa dahnil ini layak disidik. Sejak MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4/2016 yang menegaskan, kewenangan menentukan kerugian keuangan negara hanya pada BPK. SEMA ini memberikan kepastian hukum tentang kewenangan mengaudit dan menentukan tafsir kerugian negara, yang sebelumnya terjadi konflik kewenangan antara BPK dan BPKP.
Apalagi MK telah memberikan tafsir “dapat” dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, secara pasti sehingga UU Tipikor khususnya pasal 2 dan 3 masuk klasifikasi delik materiil. Kerugian itu juga harus kerugian yang nyata dan dapat dihitung, dan tentu saja BPK adalah lembaga yang otoritatif untuk menghitung dan menyimpulkan unsur ‘kerugian keuangan negara’.
Putusan MK nomor perkara 25/PUU-XIV/2016 terkait Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah membatasi penyidikan kasus korupsi khususnya terkait pasal 2 dan 3 UU Tipikor harus berdasarkan hasil audit BPK.
Dalam kasus yang menjerat dahnil, secara ringkas dapat dipahami sebagai kasus penyalahgunaan atau perbuatan melawan hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara, melalui pengalokasian anggaran dari kemenpora yang merupakan uang negara dari APBN. Kerugian itu ditudingkan pada adanya dugaan ‘mark up’ anggaran pelaksanaan kegiatan kemenpora yang sebagian dieksekusi oleh Pemuda Muhammadiyah.
Tentu penyidik harus berbekal hasil audit BPK untuk menyidik perkara ini. Bukan membuat hitungan sendiri dengan hitungan kalkulator. Info yang beredar, belum ada audit BK terkait kasus yang dituduhkan kepada Dahnil. Artinya, belum ada tafsir kerugian keuangan negara yang dikeluarkan BPK sebagai bekal penyidik untuk mencari pihak yang diduga pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban hukum.
Kedua, ketentuan pasal 2 dan/atau pasal 3 UU Tipikor itu fokus tentang adanya dugaan penyalahgunaan wewenang atau perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan pejabat penyelenggara negara. Logikanya, penyidikan harus dimulai dari pejabat dilingkungan kemenpora hingga Menpora. Ingat, ini bukan kasus suap atau kasus tangkap tangan.
Lengkapnya, ketentuan pasal 2 dan 3 dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi (UU Tipikor) bunyinya sebagai berikut :
Pasal 2 :
“(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Pasal 3 :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Subjek hukum ‘setiap orang’ yang dapat melakukan tindakan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang itu melekat pada subjek hukum yang memiliki wewenang anggaran. Sebab, jabatan yang melekat itulah yang dapat dijadikan sarana untuk menyalahgunakan wewenang atau melakukan perbuatan melawan hukum menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Status dahnil hanyalah ‘orang lain’ sementara PP Pemuda Muhammadiyah bisa dianggap ‘korporasi’. Tapi menjadi aneh, jika orang lain dan atau korporasi yang dalam hal ini Dahnil Ahzar Simanjuntak dan Pemuda Muhammadiyah telah diperiksa, tetapi tidak ada aktor yang telah diminta pertanggungjawaban hukum akibat menyalahgunakan wewenang atau melakukan perbuatan melawan hukum dalam kapasitasnya sebagai pejabat penyelenggara negara.
Boleh saja penyidik berdalih dapat melakukan pemeriksaan secara paralel, tetapi bukankah pihak yang paling layak dimintakan pertanggungjawaban hukum adalah pihak yang memiliki kuasa selaku pengguna anggaran ? Bukankah pejabat kemenpora yang lebih dahulu layak disidik ?
Ketiga, memang benar ini proses hukum biasa. Bisa dihentikan jika unsur pidana tidak terpenuhi. Tetapi memeriksa satu pihak dan mengesampingkan pihak yang lain, apakah itu bagian dari ‘Due Proces Of Law’? Okelah, Penyidik juga bisa berdalih pihak pihak terkait yang lain akan menyusul diperiksa.
Tetapi, apa motifnya memeriksa jika sejak awal tidak ada audit BPK ? Apakah kemudian audit BPK bisa segera dipesan untuk tujuan melanjutkan kasus ? Dan apabila kasus demi hukum dihentikan karena tidak cukup bukti. Lantas, bagaimana dengan nasib nama baik dahnil dan pemuda Muhammadiyah yang terlanjur tercemar karena proses ini ?
Dalam kondisi kegaduhan ini, Presiden hanya diam sebagaimana pada banyak kasus lainnya. Jika ditanya, Presiden berdalih tidak bisa ikut intervensi kasus. Padahal, secara hukum Presiden tidak bisa intervensi tetapi secara politik pejabat Kapolri diangkat oleh Presiden. Presiden, memiliki tanggung jawab politik untuk meluruskan proses penegakan hukum yang timpang dan terkesan tebang pilih ini.
Atau boleh jadi, sikap diamnya Presiden adalah bentuk persetujuan atas semua kegaduhan hukum di negeri ini. Bahkan lebih jauh, boleh jadi semua ini adalah realisasi kebijakan politik hukum yang diadopsi Presiden. Politik hukum yang menjadikan hukum sebagai sarana untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT