(Panjimas.com) – Apa yang anda pikirkan jika mendengar nama dua sosok tokoh politik yaitu Ahok dan Amien Rais? Dua tokoh yang saling bersebrangan haluan politiknya bukan? Bagaimana jika kisah keduanya difilmkan dan dirilis di hari yang sama di bulan bulan politik menjelang pemilihan presiden? Jawabannya tentu saling klaim dan saling sindir antar para pendukung di media sosial.
Berdebat kusir tentang film mana yang paling diminati oleh penonton, film mana yang paling berkualitas dari sisi cerita, dan yang paling banyak dibicarakan oleh publik.
Dirilis Kamis (08/11) kemarin, film biografi berjudul ‘A Man Called Ahok’ menceritakan masa kecil mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Kisahnya diangkat dari buku berjudul sama yang ditulis oleh Rudi Valinka.
Sementara itu, film berjudul Hanum & Rangga diangkat dari buku Faith & the City bercerita tentang hubungan antara Hanum Rais (putri Amien Rais) dan suaminya, Rangga Almahendra. Film ini juga dirilis di hari yang sama.
Dalam hal politik, pandangan dua sosok ini berseberangan. Hanum Rais, putri Amien Rais, adalah kader Partai Amanat Nasional. Baik Amien Rais dan partainya lantang bersuara dalam kasus penistaan agama yang menimpa Ahok.
Sementara Ahok, yang terpilih sebagai wakil gubernur DKI Jakarta bersama Joko Widodo, punya basis pendukung yang berbeda.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, Hurriyah mengatakan segmen penonton untuk kedua film ini sudah jelas, hanya medan tempurnya saja yang berbeda, dari media sosial beralih ke sinema.
Dari sisi politik, sudah jelas film ini punya intensi untuk memperkuat keyakinan pemilih mapan di kedua kubu dan mungkin meraih dukungan dari segmen pemilih lain. Meskipun agak meragukan apakah kedua film ini mampu mempengaruhi segmen pemilih yang lain. Apalagi kedua film ini kecenderungannya sama yaitu glorifikasi terhadap figur dan nilai yang ingin diusung, bertepatan di tahun politik.
Efeknya, para pendukung saling tuduh di media sosial, Hanum Rais dikritik karena PAN menginstruksikan kadernya untuk menonton film Hanum & Rangga. Dalam sejumlah laporan juga menyebut ada surat imbauan menonton film tersebut yang ditujukan untuk Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sementara itu, ada tuduhan bahwa para penonton film Ahok sengaja digerakkan dengan pemberian tiket gratis – walau tak ada bukti yang kuat soal ini.
Hingga Senin, (12/11), menurut akun resmi dua film itu, jumlah penonton A Man Called Ahoksudah mencapai lebih dari 587.000 penonton, sementara Hanum & Rangga mencapai 200.000 orang.
Perdebatan tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga sampai ke situs rating film IMDB. Di kolom ulasan penonton, film Hanum & Rangga dipenuhi dengan komentar ‘film dangkal’, ‘jangan buang waktu Anda’, dan ‘terlalu banyak drama’.
Sementara di film A Man Called Ahok, komentar-komentar penonton lebih bernada positif seperti ‘film yang menginspirasi’, ‘tak sabar menunggu sekuelnya’ dan ‘luar biasa’.
Tapi di sisi lain, nuansa politik yang kental dalam peluncuran dua film ini membuat sebagian orang jengah.
“Tadinya ingin nonton tapi jadi malas gara-gara ribut-ribut begini,” kata satu pengguna Twitter. Yang lainnya mengatakan “ini kenapa film jadi perang kayak politik ya… A Man Called Ahok vs Hanum Rangga… Ah lama-lama negeri ini lucu.”
Gambar, termasuk film, mempunyai kesempatan yang lebih baik, dan jauh lebih cepat, dibanding bacaan untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu.
Bahkan belakangan ini, sejumlah studi di bidang neurosains membuktikan bahwa film memang dapat mengendalikan sentimen orang.
Lewat functional magnetic resonance imaging (fMRI), para ilmuwan dari New York University mengetahui reaksi otak manusia terhadap adegan, warna, dan musik latar dalam film; dan hal itu menjadikan film-film yang mempunyai tujuan tertentu, misalnya menakut-nakuti, mempengaruhi, sukses menancapkan pengaruh dan pesan di kepala para penontonnya. Penelitian lain dari Linfield College mengungkapkan bahwa tontonan di layar kaca berpengaruh terhadap tingkat agresivitas seseorang.
Maka tidak heran jika film kerapkali dijadikan sebagai sarana propaganda Politik. Banyak kisah tokoh politik diangkat ke dalam layar perak dengan tujuan menyebar pandangan politik dari tokoh yang difilmkan tersebut. Dan tanpa sadar, masyarakat digiring untuk menerima pandangn politik si tokoh. Film bisa dengan mudah mempengaruhi siapa saja untuk bertindak dan berfikir tanpa disadari.
Lalu bagaimana Islam memandang film? Apakah film dibolehkan dalam Islam.
Sebagai karya seni, film adalah salah satu produk seni berupa gambar visual dan suara. Pada dasarnya, mubah saja membuat atau menikmati karya seni selama tidak ada unsur yang diharamkan didalamnya.
Ketika institusi Islam tegak, sangat dimungkinkan menggunakan film sebagai sarana propaganda untuk menyebarkan aqidah dan ide-ide Islam.
Apalagi di abad 21 ini. Kecanggihan efek animasi dalam sebuah film yang mempropagandakan Islam akan semakin memberikan pengaruh yang besar bagi penonton film. Propaganda ide-ide Islam akan lebih diterima oleh masyarakat.[RN]
Penulis, Hafidhah Silmi S.AP
Alumni kebijakan publik Universitas Brawijaya Malang