[Monolog Kekuasaan Yang Tak Mampu Berempati]
(Panjimas.com) – Salah satu sebab kegagalan negara menjalankan fungsinya melayani rakyat adalah ketidakpahaman dalam pengejawantahan ‘kehendak rakyat’. Negara cenderung menggunakan monopoli instrumen alat kekuasaan secara sepihak untuk melegitimasi tindakan, yang seolah telah bertindak aspiratif.
‘Kehendak rakyat’ sepintas hanya ditafsirkan pada perwakilan formal, mengujarnya seolah menjadi konsensus nasional dan bertindak diatas pilar kebenaran yang dianggap akan dan diwajibkan diterima publik. Negara, mengabaikan aspirasi substansial yang sebenarnya mewakili dimensi ‘kehendak rakyat’ yang substansial.
Pada kasus pembakaran bendera tauhid di Garut, setelah kegagalan Kemenkopolhukam meredam amarah rakyat, negara melalui Wapres Jusuf Kalla mencoba mengambil alih kendali penyelesaian persoalan dengan mengumpulkan representasi formal dan menggunakan konsensus diatas perwakilan formal itu untuk memaksa umat tunduk terhadapnya. Ini adalah sebuah pengelabuan, dan cara-cara formal seperti ini sangat jauh dari mengapresiasi dan mewujudkan ‘kehendak rakyat’ sebagai tujuan utama penyelesaian persoalan.
Publik sangat paham bahwa yang dinodai dan dicederai dalam kasus pembakaran bendera tauhid adalah Marwah dan kemuliaan umat Islam. Tindakan JK yang hanya mengundang NU, Muhammadiyah dan beberapa elemen ormas Islam, dan mengabaikan elemen ormas Islam lainnya, adalah cara-cara penelikungan kehendak rakyat yang menjadi aspirasi substansial dibawah kendali ‘legalitas perwakilan formal’.
Cara-cara ini juga berpotensi mengadu domba, memuliakan satu pihak dan mengabaikan pihak lainnya. Membuat umat Islam merasa dipaksa mentaati konsensus sepihak yang diwakili otoritas legal formal saja.
Komitmen yang dibahas, dibacakan dan diunggah ke ruang publik bukanlah mewakili apa yang menjadi ‘kehendak rakyat’ tapi lebih kepada perwakilan ‘kehendak penguasa’ yang ingin meredam gejolak ditengah rakyat. Padahal, jika penguasa mau jujur memenuhi apa yang menjadi tuntutan ‘kehendak rakyat’ persoalan pembakaran bendera tauhid ini pasti dapat segera meredam gejolak rakyat, meski tanpa menggunakan sarana forum perwakilan formal untuk menetralisir keadaan.
Negara gagal memenuhi tuntutan kehendak rakyat yang sangat sederhana : meminta pelaku pembakar bendera tauhid meminta maaf, proses hukum secara adil dan transparan.
Ketika tuntutan diunggah melalui sebuah aksi massa pada tanggal 2/11, negara juga enggan untuk meluluskan kehendak rakyat yang menginginkan pengakuan negara atas eksistensi bendera tauhid sebagai milik seluruh kaum muslimin. Belum juga dibahas dalam sebuah forum yang menyejukan, forum yang mengadopsi aspirasi kehendak rakyat, JK buru-buru menolak aspirasi ini.
Monolog kekuasaan menggunakan tafsir tunggal penguasa, mengabaikan apa yang menjadi aspirasi dan kehendak umat. Kekuasaan, berdasarkan legitimasi formal seolah mempertontonkan kujumawaan dengan terus membius narasi rancu yang dipaksakan dan diulang-ulang.
Memaksakan tafsir bendera HTI dengan berdalih keterangan pelaku adalah contoh betapa telanjangnya kekuasaan mendikte nalar publik. Dalam kesempatan beraudiensi di Kemenkopolhukam, Ust. Muhammad Al Khathat secara lugas mengoreksi pernyataan Komjen Pol Ari Dono Sukmanto, Wakapolri ihwal bendera tauhid.
Ust Khathat mengingatkan Polri untuk menelusuri dan menyingkap kasus berdasarkan fakta hukum, bukan berdasarkan persepsi pelaku terhadap fakta bendera yang dibakar. Bendera yang dibakar adalah bendera tauhid yang berlafadzkan kalimat tauhid, adalah fakta tak terbantahkan. Sedangkan anggapan bendera yang dibakar adalah bendera HTI adalah persepsi pelaku terhadap bendera yang dibakar.
Sayangnya, penyidik Polri justru menyidik perkara berdasarkan persepsi pelaku yang menganggap bendera yang dibakar adalah bendera HTI, bukan berdasarkan fakta hukum bahwa bendera yang dibakar adalah bendera tauhid. Karena berpersepsi bendera HTI, kemudian membakarnya, Polri kemudian menyimpulkan tidak ada niat jahat karena pelaku tidak berniat membakar bendera tauhid, tetapi dalam benak pelaku bendera yang dibakar adalah bendera HTI.
Aneh juga, jika anggota ormas Islam Banser tidak mampu mencerap fakta bendera tauhid sehingga dengan penuh kebanggaan sebagian anggotanya di Garut membuat parade pembakaran bendera tauhid secara terbuka, penuh suka cita, seolah telah mengaktualisasikan sikap patriotik dan cinta tanah air. Apakah dalam pengkaderan Banser tidak dikenalkan kalimat tauhid, sehingga kain berlafadz tauhid sampai dibakar ? Atau justru ada doktrin resmi yang mengajarkan bahwa bendera berlafadz tauhid adalah bendera ormas ? Mungkinkah persepsi pelaku yang keliru ini justru yang diajarkan pimpinan Banser ?
Atas dasar persepsi pelaku ini yang menganggap bendera tauhid sebagai bendera ormas, penyidik Polri akhirnya mengembangkan penyidikan dan mengarahkan pada pasal 174 KUHP dan tidak menggunakan pasal 156a KUHP.
Jika model penyidikan perkara yang dikembangkan demikian, tentu ini akan menjadi rancu. Misalnya saja: seorang penyewa rumah dianggap pemilik rumah karena de fakto yang menempati rumah. Kemudian tamu yang datang juga menganggap penyewa pemilik rumah. Mereka kemudian melakukan transaksi pinjam meminjam dengan jaminan rumah.
Padahal, bukankah status kepemilikan rumah itu adalah de jure milik siapa ? Siapa yang memiliki sertifikat rumah, bukan siapa yang menempati rumah ? Sebenarnya sudah banyak analogi yang disampaikan untuk membantah pernyataan Polri bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI. Polri telah mengakui bendera tidak pernah didaftarkan oleh HTI tetapi menyimpulkan bendera itu bendera HTI hanya dengan dalih secara de facto sering digunakan HTI dalam agenda dakwahnya.
Tafsir tunggal oleh Kemenkopolhukam, tafsir tunggal oleh JK, tafsir tunggal oleh penyidik Polri, semuanya memaksa dan membuat dogma publik bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI. Akar persoalan tidak pernah disentuh, namun justru melebar kepada banyak isu liar yang tidak ada relevansinya. Isu Suriah, Isis, kerusuhan, disintegrasi, dan isu gorengan lainnya.
Terpisah, PBNU juga enggan mengambil sikap ksatria untuk mengunggah kalimat maaf bertindak untuk dan atas nama warga Nahdliyin. PBNU justru menambah heboh persoalan dengan menuding MUI, menuding Muhammadiyah bahkan membuat hoax tentang adanya satu truk bendera HTI yang dikirim ke Garut. Padahal, pihak Polri telah menyelidiki dan tidak menemukan fakta ini.
Narasi penyelesaian persoalan yang dibangun negara berdiri tegak diatas pilar keberpihakan. Bukan berpihak kepada umat Islam selaku korban, tetapi justru negara terkesan melindungi pelaku pembakar bendera tauhid dan mencoba mengalihkan pertanggungjawaban hukum melalui penyesuaian pasal dan pelimpahan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak lainnya.
Sedih sekali jika model monolog kekuasaan ini terus dipraktikkan. Rakyat tidak memiliki tempat untuk mengadu, tafsir penyelenggaraan kekuasaan dipaksakan sepihak oleh penguasa kepada rakyat. Negara sama sekali tidak sensitif atas perasaan yang dirasakan umat, negara jauh dari sikap berempati kepada rakyat.
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT