(Panjimas.com) — Beberapa hari lalu, Ronny Adi, anak muda Betawi yang selama ini bergiat dalam beragam aktivitas seni mengontak saya. Lantas minta saya bicara dalam Betawi Leadership Forum, Kamis : 1 November 2018. Acara itu digelar sebagai pra Milad ke 2 komunitas Jawara Betawi, yang lahir berbarengan dengan aksi massa di Monas 4 November 2016.
Saya setuju. Terutama karena yang menggelar acara itu, para jawara yang bergabung dalam Brigade Jawa Betawi 411, yang keanggotaannya tak hanya di wilayah DKI Jakarta.
Acaranya sendiri sederhana. Tapi, esensi acaranya menarik : intellectual exercise, menggagas format kaum Betawi masa depan. Hadi dan Roni membuka acara dengan pengantar yang menggugah : “Jawara gak cuman maen pukulan, kudu jago juga maen pikiran.”
Jawara Betawi yang selama ini dikesankan lebih berurusan dengan otot, menggelar kegiatan olah fikir. Bebagai pemikiran yang berkembang dalam diskusi, itu pun menarik disimak.
Anwar al Batawie – Ketua Umum Asosiasi Silat Tradisi Betawi (Astrabi) mengusik simpul kesadaran futuristik tentang pembenahan manajemen organisasi untuk menghadirkan produk budaya Betawi dalam konteks global.
Mengambil benchmark TaeKwonDo yang bermula sebagai seni beladiri tradisi yang berkembang sebagai seni beladiri prestasi dan kemudian berinteraksi dengan industri kreatif yang bergerak cepat bersamaan dengan perkembangan teknologi industri.
Dalam pandangan Anwar, kesadaran untuk memelihara seni beladiri tradisi, khasnya silat tradisi Betawi tidak berhenti hanya pada pelestarian semata, jauh dari itu adalah pengembangan potensi dengan pola perubahan sistemik dan tanpa henti.
Selaras dengan pandangan itu, H. Basir Bustomi – Panglima Komando Nasional Brigade 411 mencermati, konsistensi dan konsekuensi memelihara seni beladiri – silat tradisi Betawi bersifat dimensional. Tak bertumpu hanya pada penguatan metodologi dan sistem pengembangan, melainkan jauh dari itu, juga mesti bertumpu pada dinamika kehidupan sosial budaya yang terus bergerak tanpa henti ke masa depan.
Baik Anwar maupun Basir, sama berpandangan, kesadaran kolektif untuk berinteraksi dengan kemajuan masyarakat, termasuk pengaruh nilai-nilai global dan lokal, akan menjadi energi dalam melihat format baru masyarakat Betawi yang tak lagi tertambat di masa lalu.
Basir mengingatkan tentang disiplin, kesungguhan untuk terus menerus melatih diri berdisiplin, piawai dengan ketangkasan dan keterampilan karena kompeten, disempurnakan oleh proses regenerasi, karena zaman berubah. Terutama, karena para guru yang konsisten melatih orang muda dalam menguasai ilmu silat, juga mengalirkan kearifan hidup yang bersumber dari ajaran agama dan budaya.
Kemampuan mengolah kesadaran, mengembangkan harmoni otot dan otak, menurut Anwar, akan menguatkan attitude berbasis akhlak karimah. Jawara Betawi, menurut Basir, bukan jagoan yang secara konotatif lebih kuat karena otot. Tapi Jawara, karena ada konsistensi meneguhkan akidah, syariah, muamalah dan akhlak.
Mesti ada kesadaran kolektif untuk itu. Terutama, karena menurut H. Hasan Basri – Panglima Brigade Jawara Betawi 411, komunitas yang dipimpinnya lahir, hadir, dan mengalir bersama tumbuh-kembangnya kesadaran untuk berteguh pada tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah.
Latar historis peran kaum pribumi dalam perjuangan kemerdekaan RI tak menutup diri pada interaksi sosial, bahkan asimilasi budaya, yang bergerak menuju integrasi kebangsaan yang lebih luas. Ke depan, kata kunci yang penting adalah daulat rakyat. “Betawi bukan cuma warga Jakarta, tapi rakyat yang mesti berdaulat,” tegas Anwar.
Kejawaraan tak boleh dibiarkan hanya berhenti pada pemahaman fisikal dengan perangai hidup yang kadung disalahpahami selama ini. Karenanya, seperti kata Roni Adi, kudu ada usaha terus menerus, untuk mendorong ke depan intelektualitas Jawara Betawi.
Bung Asyik – pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mengingatkan apa yang menjadi sesanti Ki Hadjar Dewantara dalam konteks filosofi pendidikan : di depan menjadi teladan, di tengah menjadi penggerak, di belakang menjadi pengayom. Muaranya adalah terbentuknya kualitas manusia yang sesuai dengan standar : khairun naas anfa’uhum lin naas, sebaik-baiknya manusia yang memiliki manfaat bagi (banyak) manusia lain.
Sebagai pejabat yang meniti karir dari bawah dan banyak berinteraksi dengan masyarakat Betawi, Bung Asyik mengingatkan hal yang menarik, yaitu, bagaimana kaum Betawi terus memainkan peran strategis di lingkungan masyarakat. Khasnya di DKI Jakarta. Basisnya adalah Pancasila, yang berdimensi religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi kerakyatan bertumpu pada musyawarah, untuk mewujudkan keadilan sosial.
Saya sepakat dengan berbagai pandangan itu. Dalam kesempatan bicara, saya lebih banyak mengingatkan tentang tantangan masa depan yang mesti direspon dengan intelektualitas yang membumi.
Terutama, karena masyarakat Indonesia dan rakyat (kaum) Betawi mesti berinteraksi kualitatif dengan globalisasi, glokalisasi, singularitas, transhumanisme, juga tantangan membalik realitas kemiskinan, kesadaran lingkungan dalam konteks hidup berkelanjutan, pola migrasi global yang sedang mengarus ke Asia Pasifik, dan beragam tantangan lainnya.
Dari floor memercik pemikiran menarik. Arifin dari Condet mengingatkan tentang community souvereignity – daulat kaum dan menghidupkan kembali tanggungjawab orang-tua mendidik anak.
Arifin memilih jalan yang lama dan konsisten saya gerakkan bersama teman-teman deschooling society. Baik melalui aktivitas home schooling yang intensif, sampai reaktualisasi peran lembaga pendidikan tinggi, untuk fokus pada mutu manusia dalam konteks human investment, bukan hanya pada formalisma dan intelektualisma semata.
Mukhlis Obenk bicara tentang perluasan kesempatan kepada orang muda dan yang lebih muda untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi mereka. Membuka kesempatan bagi orang muda bergerak ke depan, penting. Jangan dihambat, sehingga kaum Betawi tidak stagnan, berjalan di tempat. Yang tua memberi kesempatan kepada yang muda.
Irfan bicara tentang kreativitas dan inovasi bagi generasi millenial. Dia mengkritik karena tak banyak mahasiswa yang ikut dalam diskusi itu. Dalam pandang Irfan, yang menarik untuk dikembangkan, adalah kesadaran memahami orang muda (generasi millenial) sesuai dengan perkembangan yang mempengaruhi hidup mereka.
Bung Asyik merespon dengan pandangan segar, yakni bagaimana mengembangkan sikap dan pandangan kritis, benar, kompeten, dan solid.
Saya suka dengan keterbukaan aparatus Pemprov seperti ini. Sikap dan pandangan yang berkembang siang itu, sudah kritis, dan tetap dengan gaya Betawian – serius sekaligus segar. Rachmad Sadeli yang memandu diskusi, pun piawai memoderasi.
Bagaimana kudu berdaulat? “Ambil hakmu pada mereka..!” jawab saya. Caranya? “Jangan lelah meningkatkan kualitas, supaya bisa berkompetisi dengan kompetensi.” Dan.. Jawara Betawi, tak perlu harus berseragam menyerupai tentara atau polisi. []
Penulis, Sem Haesy
Budayawan Betawi