[Catatan Hukum Lambannya Penuntasan Kasus Penistaan Bendera Tauhid]
(Panjimas.com) – Hingga tulisan ini dibuat, telah genap 6 (enam) hari tragedi biadab pembakaran bendera tauhid berlalu sejak 22 Oktober 2018 yang lalu. Polaritas dan dimensi kegoncangan sosial masyarakat telah meluas keseluruh pelosok penjuru negeri. Banyak elemen dan tokoh telah berbicara, semua mengunggah keprihatinan atas teragedi ini. Namun, belum terdengar satupun kalimat penenang dan penyejuk bagi dada-dada umat Islam dari tuan Presiden Joko Widodo.
Dalam sepekan ini, Tuan Presiden malah sibuk memperkenalkan ujaran ‘SONTOLOYO’ di berbagai diskursus publik. Lini masa, mencoba menjadi juru tafsir dan membuat klasifikasi tentang siapa sebenarnya yang dianggap sebagai politisi sontoloyo. Alih-alih menenangkan suasana, ujaran sontoloyo ini justru memperkeruh keadaan.
Tidak keliru, jika kemudian publik mengarahkan tudingan tuan Presiden sebagai biang sontoloyo. Berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat, termasuk banyaknya kebohongan dan ingkar janji yang dikakukan Jokowi membuat publik justru berbalik tunjuk hidung, Jokowi lah sebenarnya yang sontoloyo.
Terakhir, tuan Presiden mencoba menghibur rakyat dengan mengadakan deklarasi gegap gempita pengumuman pembebasan tarif tol Suramadu. Kebijakan receh, yang sebenarnya cukup dan mampu dilakukan oleh petugas Jasa Marga. Entah apakah ini akan menjadi kebijakan ajeg atau seremoni menjelang Pilpres belaka, yang jelas bagi Jokowi prestasi remeh temeh ini sangat dibutuhkan untuk diunggah, dalam rangka menutup berbagai kebijakan zalim yang banyak mencekik leher rakyat.
Tuan Presiden masih berhalusinasi, seremoni pembebasan tarif tol Suramadu dianggap mampu menutup diskursus problem utang yang menggunung, problem rupiah yang ambruk, problem perlambatan ekonomi, problem temuan BPK akan indikasi korupsi pada proyek infrastruktur dengan nilai triliunan rupiah, dan yang lainnya. Bagi TKN tuan Presiden, yang saat ini sedang gencar menjajakan tuan Presiden yang ingin menjadi Presiden lagi, prestasi remeh ini sangat membantu.
Paling tidak, TKN Jokowi -Ma’ruf Amin masih memiliki dalih untuk berdiskusi dengan umat, disaat umat banyak menjaga jarak karena diamnya tuan Presiden atas kezaliman yang menimpa umat. Tuan Presiden, butuh berbagai prestasi instans, untuk memenuhi ekspektasi umat yang dahaga atas mimpi kesejahteraan.
Dibalik semua hiruk pikuk itu, kenapa tuan Presiden bungkam atas insiden pembakaran bendera tauhid, bendera umat Islam ? Kenapa Presiden tidak bertindak secara equal terhadap umat Islam ? Umat Islam masih ingat insiden gereja Lidwina Bantul. Saat gereja diserang, semua angkat bicara. Presiden, ketua DPR, Kapolri bahkan panglima TNI ikut heboh langsung sidak ke lokasi.
Lantas, kenapa untuk tragedi pembakaran bendera tauhid tuan Presiden bungkam ? Bagi umat Islam, pembakaran kalimat tauhid lebih parah ketimbang pembakaran masjid. Ini menyangkut sesuatu yang paling asasi dalam pandangan akidah Islam. Lafadz, yang menjadi jaminan surga bagi umat Islam.
Tuan Presiden, menteri Anda tidak cakap menyelesaikan urusan ini. Anda harus turun tangan. Menkopolhukam, tidak menyelesaikan persoalan tetapi justru memperkeruh keadaan. Bagaimana mungkin, seorang menteri ikut aktif memframing isu dengan menyatakan bendera berlafadz tauhid itu dianggap bendera miliki HTI ? Tidak cukup sebatas itu, menkopolhukam juga menebar tudingan dengan menyatakan HTI adalah ormas yang terlarang berdasarkan putusan pengadilan.
Tuan Presiden, saya beritahu Anda. HTI bukan organisasi terlarang sebagaimana tudingan menteri Anda. Putusan pengadilan amarnya hanya menyebutkan menolak gugatan HTI dan menguatkan status pencabutan BHP yang dimilik HTI, yang dilakukan secara sepihak oleh kemenkumham berdasarkan kekuatan Perppu Ormas. Itu saja. Tidak ada putusan yang amarnya menyatakan HTI sebagai organisasi atau ormas terlarang.
Karena itu, ketahuilah tuan Presiden. Menkopolhukam bukan menyelesaikan masalah tetapi malah menambah polemik baru. Tindakan dan tudingan ceroboh menkopolhukam ini menimbulkan beberapa implikasi.
Pertama, pernyataan Kemenkopolhukam ini tidak menyelesaikan akar persoalan yakni adanya pembakaran bendera tauhid yang jelas telah nyata memenuhi unsur delik penistaan agama. Pak Wiranto seharusnya menghimbau pelaku dan ormas Ansor yang menaungi Banser segera meminta maaaf kepada publik. Selanjutnya, Pak Wiranto mewakili negara menjamin akan memproses pelaku penista agama sesuai ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selesai.
Kedua, tudingan bendera HTI ini melecehkan umat Islam. Sebab, ini sama saja ribuan massa yang berdemo di berbagai daerah dituding ashobiyah, membela kelompok, bukan membela akidah Islam dan kemuliaan Lafadz tauhid yang dibakar. Ini tuduhan serius.
Bahkan, pernyataan menkopolhukam ini ditindaklanjuti pejabat kepolisian dengan melepaskan pelaku pembakar bendera tauhid dengan alasan (baca: dalih) tidak ada niat jahat. Ini pernyataan yang menumpulkan logika hukum dan sangat menyakiti hati umat Islam. Tidak hanya itu, moncong senapan penegakan hukum saat ini justru diarahkan pada pembawa bendera tauhid dan yang mengedarkan videonya. Ini jelas mengulang kasus Ahok tuan Presiden !
Tuan Presiden, saya tegaskan kepada Anda semua yang aksi menuntut proses hukum pelaku pembakar bendera tauhid itu bergerak atas dasar keimanan dan untuk memberikan pembelaan kepada kalimat tauhid. Tidak ada satupun yang berdemo itu karena diperintah HTI dan berjuang dalam rangka membela HTI, tidak ada.
Tudingan berulang pada simbol tauhid yang ada pada bendera Islam sebagai bendera ormas tentu sangat menyakitkan. Kami umat Islam diharamkan ta’ashub, ashobiyah, berjuang karena dorongan kelompok dan sentimen organisasi. Kami semua yang membela bendera tauhid berjuang semata-mata untuk meninggikan kalimat tauhid.
Tuan Presiden, segeralah bicara. Solusi atas persoalan penistaan kalimat tauhid ini sederhana : pertama, pelaku dan pimpinan organisasi Banser/Ansor yang melakukan pembakaran bendera tauhid segera meminta maaf, tidak perlu ngeles dan malah menuduh pihak lain. Kedua, proses hukum pada para pelaku penista agama sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Tuan Presiden, jika Anda terus diam dan bungkam jangan salahkan umat Islam jika berpraduga Anda telah melindungi penista agama sebagaimana Anda telah melakukannya pada kasus pelecehan Surat Al Maidah. Kami tidak akan memaksa Anda, kami hanya memberi pilihan kepada Anda : segera bicara dan bela bendera tauhid, atau Anda sengaja mengumumkan permusuhan terhadap umat Islam. Jika Anda terus diam, maka benarlah kesimpulan umat Islam yang meyakini bahwa rezim yang anda pimpin saat ini adalah rezim yang represif, zalim dan anti Islam. [DP]
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH Pelita Umat