Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH*
(Panjimas.com) — Pembawa bendera Tauhid telah ditetapkan sebagai tersangka, padanya dikenakan Pasal 174 KUHP, “dengan sengaja mengganggu rapat umum yang tidak terlarang dengan mengadakan huru hara atau membuat gaduh”. Perlu dicermati, walaupun ancaman hukumannya relatif singkat, hukuman penjara selama-lamanya tiga minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,-, namun timbul pertanyaan serius apakah memiliki dan/atau membawa bendera berkalimat Tauhid adalah termasuk mengadakan huru hara atau membuat gaduh? Jika benar demikian, membawa bendera berkalimat Tauhid, termasuk dalam kriteria mengadakan huru hara atau membuat gaduh, dan oleh karenanya merupakan peristiwa pidana, maka dikhawatirkan menjadi preseden buruk dikemudian hari.
Hal ini bukan persoalan sepele dan oleh karenanya menjadi tidak penting untuk dianalisis. Ini menyangkut kemuliaan dan keagungan lafadz Tauhid, terlepas dimanapun kalimat Tauhid itu dituliskan/diletakkan, termasuk tetapi tidak terbatas pada bendera saja. Dengan demikian, persoalan mendasar bukan pada benderanya, melaikan pada lafadz kalimat Tauhid itu. MUI Pusat secara resmi telah menyatakan bahwa bendera yang dibakar itu bukan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tetapi bendera berkalimat Tauhid. Oleh karenanya, sangat disayangkan terjadinya “kriminalisasi” terhadap orang yang membawa bendera berkalimat Tauhid. Di sisi lain, sangat banyak orang yang menggunakan simbol PKI dalam berbagai bentuk dan pada berbagai kesempatan tidak diproses secara hukum, padahal keberadaan PKI sudah secara sah dinyatakan terlarang oleh Pemerintah.
Kemuliaan dan keagungan kalimat Tauhid dikhawatirkan akan semakin direndahkan, dilecehkan melalui tindakan persekusi dan/atau upaya kriminalisasi dengan berbagai modelnya. Perlu dicatat, ajaran khilafah sudah lebih dahulu “dikriminalisasi”melalui Perppu Organisasi Kemasyarakatan yang kini telah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Frasa “ajaran/paham yang bertentangan dengan Pancasila” sebagaimana tersebut dalam Pasal 59 ayat 4 hurud c, melalui Penjelasannya disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, antara lain ajaran ateisme, komunisme / marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pada penerapan Perppu Ormas, Pemerintah telah menganalogikan bahwa *”khilafah adalah paham lain” yang bertujuan mengganti/mengubah pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tegasnya, Khilafah (sebagai paham lain) disederajatkan sama dengan ajaran ateisme, komunisme / marxisme-leninisme. Padahal ajaran Khilafah adalah salah satu ajaran dalam Islam, yang didalamnya terkandung sistem hukum, sistem politik dan sistem ketatanegaraan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah perintahkan untuk selalu bepegang teguh pada sunnahnya dan sunnah Khulafaur Rasyidin.
Kriminalisasi terhadap ajaran Khilafah, ternyata diikuti dengan perlakuan buruk _(persecution)_ terhadap pembawa bendera berkalimat Tauhid melalui tindakan sweeping yang berujung pada pembakaran. Pada saat pemberian keterangan sebagai ahli hukum pidana sidang uji materiil Perppu Ormas maupun Undang-Undang Ormas di Mahkamah Konstitusi, terkait dengan pembubaran HTI sebagai Ormas, penulis menyatakan sebab yang paling berpengaruh adalah bukan menganut, atau mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, namun sebab yang paling utama menurut teori hubungan kausalitas adalah ajaran agama Islam itu sendiri, yakni nash tentang Khilafah. Sekarang ini, terulang lagi hal yang sama, bahwa sebab yang paling berpengaruh adalah bukan menyangkut orang yang membawa bendera berkalimat Tauhid, namun *sebab yang paling berpengaruh adalah Kalimat Tauhid itu sendiri.
Kekhawatiran penulis, begitupun umat Islam lainnya, menunjuk pada adanya gerakan sistematis dan terstruktur dilakukan secara massif untuk menegasikan syariat Islam dengan khilafah sebagai sasaran antara. Dengan lain perkataan, persekusi terhadap syariat Islam bukan lagi sebatas potensi atau indikasi, melainkan telah mewujud nyata dalam berbagai sisi.
Jakarta, 28 Oktober 2018
*Ketua Umum HRS Center