(Panjimas.com) – Berbagai aksi sweeping yang dilakukan oleh GP Ansor melalui Banser terhadap bendera berkalimat Tauhid telah menuai keonaran dimasyarakat. Keonaran tersebut menunjuk pada aksi pembakaran bendera berkalimat Tauhid di Garut. Pembakaran tersebut adalah perbuatan penodaan terhadap agama Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP.
Dengan adanya aksi pembakaran bendera berkalimat Tauhid, maka telah terjadi dua peristiwa pidana, pertama, penodaan agama Islam dan kedua, terbitnya keonaran di masyarakat.
Pada yang tersebut kedua, terbitnya keonaran di masyarakat, disebabkan adanya perbuatan “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” yang dilakukan oleh pimpinan GP Ansor. Perihal tentang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong – yang lazim disebut dengan istilah hoaks – diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagaimana telah dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, yang berbunyi :
“Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong ini disertai dengan aksi sweeping di berbagai daerah yang dilakukan secara massif dan terstruktur. Padahal, Ormas tidak diperkenankan melakukan aksi sweeping, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, disebutkan bahwa Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aksi sweeping yang dilakukan oleh GP Ansor melalui Banser telah mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum.
Merujuk pada ketentuan Pasal 60 UU Ormas, aksi sweeping yang dilakukan oleh Banser terancam dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Bendera berkalimat Tauhid dikatakan oleh pimpinan GP Ansor sebagai bendera HTI. Pernyataan bendera berkalimat Tauhid sebagai bendera HTI juga disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam surat Pernyataan Sikap Tentang Peristiwa di Garut (24/10/2018). Padahal bendera berkalimat Tauhid adalah “Arrayan” dan “Alliwa” yang merupakan bendera Rasulullah SAW, jadi bukan milik HTI semata, melainkan milik semua umat Islam. MUI menyatakan bahwa “dalam perspektif MUI karena tidak ada tulisan ‘Hizbut Tahrir Indonesia’, maka kita mengatakan kalimat tauhid…” (23/10/2018).
Menyikapi kasus pembakaran bendera berkalimat Tauhid yang terkait dengan timbulnya akibat keonaran dimasyarakat, teori hubungan kausalitas menjadi rujukan guna menilai sebab-musabab dari suatu akibat.
Dalam ajaran hukum pidana, teori hubungan kausalitas digunakan pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil dan akibat yang ditimbulkan merupakan unsur tindak pidana. Teori hubungan kausalitas dimaksud adalah teori generalisir dan teori individualisir. Baik teori generalisir maupun individualisir hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab, yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Perbedaannya adalah, pada teori generalisir melihat sebab secara in abstracto, menurut perhitungan yang layak yang akan menimbulkan suatu akibat, sedangkan teori individualisir melihat sebab secara in concreto atau post factum.
Menurut penulis, sebab yang paling utama atau yang paling berpengaruh adalah pernyataan “bendera berkalimat Tauhid adalah bendera HTI” dan kemudian diringi aksi sweeping di berbagai daerah. Dengan kata lain, dapat dikonstruksikan bahwa aksi sweeping yang berujung pada pembakaran bendera berkalimat Tauhid didasarkan pada pernyataan pimpinan GP Ansor bahwa bendera berkalimat Tauhid adalah bendera HTI.
Pernyataan tersebut adalah “tidak benar alias bohong,” yang kemudian menimbulkan akibat berupa keonaran di masyarakat. Dengan demikian unsur “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” menunjuk pada pernyataan pimpinan GP Ansor tersebut.
Selanjutnya, frasa “dengan sengaja” pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menurut ajaran hukum pidana, mencakup tiga corak (gradasi) kesengajaan baik dengan maksud (als oogmerk), dengan sadar kepastian (dolus directus) atau dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Walaupun dirinya tidak dengan maksud (menghendaki) akibat yang timbul berupa keonaran di masyarakat, melainkan hanya untuk bermaksud melakukan sweeping namun akibat yang timbul berupa keonaran di masyarakat telah terjadi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang perbuatan sweeping dikehendaki, sebagaimana terjadi diberbagai daerah, namun timbul akibat berupa keonaran dimasyarakat, walaupun tidak dikehendaki terjadi, menurut hukum termasuk perbuatan dengan sengaja. Apakah termasuk dengan sadar kepastian atau dengan sadar kemungkinan, adalah tugas Penuntut Umum untuk mengkonkritkannya lebih lanjut dalam dakwaan, yang jelas akibat keonaran sudah ada, sebab adanya berita atau pemberitahuan bohong tersebut. Oleh karena itu, pimpinan GP Ansor yang menyampaikan kebohongan tersebut harus bertanggungjawab secara hukum. Kepadanya dimintakan pertanggungjawaban pidana, sebab telah menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran di masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946. [RN]
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ahli Hukum Pidana