[Catatan Hukum Tragedi Pembakaran Bendera Tauhid]
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
(Panjimas.com) – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menggelar rapat khusus membahas kasus pembakaran bendera Tauhid. Rapat khusus ini berlangsung di Kantor Menteri Koordinator Polhukam, Selasa, 23 Oktober 2018. Hadir antara lain Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, Jaksa Agung AM Prasetyo, perwakilan MUI, perwakilan Pengurus Besar NU dan Kementerian Dalam Negeri.
Berapa substansi rapat penting yang menjadi hasil rapat, di antaranya:
Pertama, Wiranto menyebut Alasan bendera tersebut dibakar, karena pelakunya menganggap sebagai simbul Hizbut Tahrir Indonesia atau HTl.
Kedua, Ormas HTI dinyatakan terlarang karena dianggap mengusung paham syariah dan khilafah yang tidak sesuai dengan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945. Menurutnya, HTl adalah ormas yang sudah dilarang keberadaannya di Indonesia berdasarkan keputusan pengadilan.
Ketiga, Wiranto menekankan bahwa peristiwa pembakaran bendera itu telah meluas dengan berbagai pendapat yang cenderung mengadu domba antar Ormas. Bahkan, hubungan antarumat beragama diklaim sudah terjadi pro dan kontra. Karenanya, Pemerintah memandang perlu untuk mengambil langkah-langkah menjaga stabilitas di tengah masyarakat.
Keempat, Pemerintah meminta masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi terkait kasus pembakaran bendera saat peringatan Hari Santri Nasional di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Wiranto meminta kepada masyarakat agar tetap tenang, tidak terpengaruh berita-berita yang tidak benar (hoax).
Framing Opini Sesat
Bidang tugas Kementrian Politik Hukum dan Keamanan adalah Menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Tugas ini mewajibkan Kemenkopolhukam melakukan mitigasi masalah dan pendalaman fakta secara benar.
Kekeliruan memahami masalah (fakta), dapat berakibat fatal. Alih-alih Menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan, kesalahan memetakan dan memahami masalah justru memicu kekeliruan sinkronisasi, mispersepsi dalam perencanaan, dan kesalahan eksekusi kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Wiranto, tidak jujur dan menyampaikan persoalan secara benar. Fungsi koordinasi masih menyisipkan misi ‘Framing Koordinasi’ dengan mencoba membangun narasi publik pada arah dan tujuan lain yang justru berpotensi memecah belah bangsa dan mengganggu stabilitas keamanan negara.
Pertama, ketidakjujuran Wiranto adalah ketika mengulang pernyataan bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI. Meskipun mengutip pengakuan anggota Banser, namun seharusnya Kemenkopolhukam membuat kajian mitigasi hukum tersendiri untuk memberi pemahaman ditengah masyarakat, tentang realitas dan hakekat bendera yang dibakar.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan bendera yang dibakar dalam insiden bertuliskan lafadz Tauhid bukan merupakan bendera HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia. “Memang itu tidak ada HTI-nya, jadi itu kalimat tauhid. Kami melihat yang dibakar kalimat tauhid karena tidak ada simbol HTI,” kata Wakil Ketua Umum MUI Yunahar Ilyas di gedung MUI Pusat, Jakarta Pusat, pada Selasa, 23 Oktober 2018.
Secar faktual bendera dengan lafadz tauhid tidak mencirikan atau dapat dianggap sebagai atribut ormas tertentu. Secara hukum, ciri identik lambang atau simbol ormas, termasuk atribut ormas dapat dibaca melalui penjelasan dalam AD dan ART ormas.
Jika bendera dengan Lafadz tauhid ini dianggap bendera HTI, Kemenkopolhukam dapat dengan mudah mengecek data di kemenkumham pada arsip lampiran penerbitan SK Badan Hukum Perkumpulan Ormas HTI. Didalam AD ART HTI, tidak pernah memuat satupun pasal yang mengklaim dan menjelaskan bahwa bendera dengan lafadz ‘LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADDUR ROSULULLAH’ merupakan atribut atau bendera HTI. Juru bicara HTI Ismail Yusanto sendiri, telah mengklarifikasi bahwa Al Liwa dan Ar Roya atau dikenal umum sebagai bendera tauhid adalah bendera Rasulullah, bendera kaum muslimin, bukan bendera HTI. HTI sendiri menyatakan tidak memiliki bendera organisasi.
Jika Wiranto kurang yakin, Kemenkopolhukam juga dapat meminta Kemenkumham untuk meminta data pada Ditjen HAKI untuk memastikan apakah bendera dengan lagadz tauhid ini telah didaftarkan menjadi hak paten ormas tertentu. Dan bagi Kemenkopolhukam, pekerjaan ini sangat mudah karena kemenkumham berada dibawah koordinasi Kemenkopolhukam.
Mengulang-ulang pernyataan bendera tauhid adalah bendera HTI tentu akan sangat meyakini hati kaum muslimin. Kaum muslimin merasa direndahkan karena ketika membawa bendera Rasul, bendera yang menjadi simbol kemuliaan Islam dan kaum muslimin, dianggap membawa pesan ashobiyah, karena dituding membawa bendera HTI.
Pernyataan keliru ini, jika diteruskan bukan meredam suasana justru sebaliknya. Rasa marah kaum muslimin atas pembakaran bendera tauhid, semakin memuncak karena adanya tudingan-tudingan jahat yang membatasi Lafadz tauhid dan benderanya hanya milik ormas tertentu.
Kedua, Wiranto juga kembali melakukan Framing jahat kepada ormas HTI sebagaimana ketika awal pengumuman rencana pembubaran HTI yang kemudian dipahami secara keliru dan dianggap telah dibubarkan. Saat itu, barulah Wiranto menyebut proses pembubaran akan dilakukan melalui pengadilan -meskipun pada faktanya- pencabutan SK BHP HTI justru dilakukan melalui penerbitan Perppu ormas yang memberi wewenang sepihak kepada Pemerintah (Kemenkopolhukam) untuk mencabut SK BHP HTI. Sebelumnya, pencabutan SK badan hukum ormas harus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalan pernyataannya, Wiranto mengulang tudingan HTI sebagai ormas terlarang berdasarkan putusan pengadilan. Pernyataan ini jelas keliru dan tidak berkesesuaian dengan fakta hukum.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta baik pada tingkat Pertama maupun Banding, dalam amarnya hanya menyebut Mencabut Keputusan Menteri Hukum Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tanggal 02 Juli tahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, berkedudukan di Jakarta Selatan.
Tidak ada satupun amar putusan, yang menyebutkan HTI sebagai ormas terlarang atau dengan redaksi lain HTI sebagai ormas yang dilarang oleh pengadilan. HTI Berbeda dengan PKI yang tegas dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Dalam TAP MPRS No. XXV/1966, jelas menyebutkan bahwa PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tidak sebatas itu, dalam ketentuan pasal 2 ditegaskan pula larangan mengembangkan ajaran atau paham komunisme, atheisme, marxisme dan leninisme yang menjadi atribut ideologi PKI.
Penyesatan opini oleh Wiranto ini dapat menyebabkan publik mempersonifikasikan HTI seperti PKI. Padahal, landas perjuangan, tujuan hingga cara berjuang HTI jauh berbeda dengan PKI. HTI berjuang berdasarkan Islam, dengan dakwah Islam, dan untuk menerapkan Islam agar menjadi rahmat bagi semesta alam. Sementara PKI berakidah atheis, berjuang dengan metode revolusi berdarah, terbukti memberontak dengan membantai sipil dan militer, dan ingin mengubah negeri ini menjadi negeri komunis.
Ketiga, Pemerintah melihat adanya potensi adu domba dan pecah belah akibat insiden pembakaran bendera tauhid, namun tidak mengambil upaya kongkrit untuk mengatasinya. Upaya kongkrit itu, tentu menindak pelaku pembakaran dan tidak melindunginya dengan berbagai dalih.
Bukannya menindak pelaku, Pemerintah justru membangun narasi baru untuk mengkriminalisasi pihak yang menyebarkan video. Polda Jabar juga masuk pada ruang narasi jahat melalui Framing hukum, dengan kembali mengulang pernyataan bendera yang dibakar adalah bendera HTI.
Ini sangat berbahaya, Pemerintah sedang mempersoalkan ribuan bahkan ratusan ribu akun yang turut serta menyebarkan video pembakaran atas dasar pembelaan pada akidah Islam. Jika dibiarkan, bisa saja Pemerintah mempersoalkan yang mengunggah dan menyebarkan video dengan dalih menyebarkan kebencian dan SARA berdasarkan pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Belum lagi, kepolisian juga terus memburu pembawa bendera tauhid di acara peringatan hari santri. Astaghfirullah, yang dipersoalkan umat itu pembakaran bendera tauhid, bukan yang membawa bendera tauhid. Kenapa polisi justru memburu pembawa bendera tauhid ?
Apakah pelaku pembakar bendera tauhid ujungnya akan dilepaskan karena telah meminta maaf ? dan apakah motif dilakukan bukan karena niat membakar bendera tauhid akan tetapi karena menganggap bendera HTI menjadi alasan pembenar dan pemaaf ? Apakah polisi akan mengikuti jejak KPK yang tidak memproses kasus Ahok pada korupsi RS sumber waras karena tidak ada niat jahat ?
Lantas analoginya, kalau ada orang membunuh dengan pisau dapur lalu telah meminta maaf karena dikira yang dibunuh bukan orang tetapi dianggap babi, apakah kasus bisa dianggap selesai ? Lantas kemudian polisi sibuk mencari penjual pisau dapur di pasar karena dianggap memicu terjadinya peristiwa pembunuhan ? Janganlah negara mempertontonkan kedunguan dengan membuat hoax – hoax yang menyesatkan.
Keempat, publik tentu dapat mencerna himbauan Kemenkopolhukam untuk tidak menyebar hoax dan tidak mempercayai kabar bohong itu sebagai lips service semata. Faktanya, dalam keterangan resmi Wiranto mengandung banyak hoax politik.
Hoax yang ditebarkan Kemenkopolhukam ini mengulang hoax yang dikeluarkan Presiden Jokowi yang meminta menghentikan politik kebohongan. Padahal, publik paham benar justru di rezim Jokowi inilah kebohongan diternak dan dikembangbiakkan oleh penguasa.
Himbauan Kepada Umat Islam
Sakit dan sedih sekali menjadi warga negara muslim di negeri ini. Negara yang dikelola oleh pemimpin yang juga muslim, tapi tidak juga memberikan keberpihakan kepada umat Islam.
Meskipun demikian umat Islam tetap harus bangkit, membela bendera tauhid, membela agama Allah SWT. Dunia ini hanya sekedar ladang bercocok tanam, kita hanya menebar benih dan merawatnya, persoalan hasil kita serahkan kepada Allah SWT. Umat Islam harus terus bergerak, dengan berbagai sarana dan ikhtiar untuk memuliakan bendera tauhid, menyucikannya dari mulut dan tangan jahat yang menodainya.
Jika penguasa memaksa umat untuk menjadikan persoalan bendera tauhid ini seperti kasus Ahok, umat wajib siap sedia. Zaman akhir yang penuh tipu daya ini, membuat umat harus semakin yakin para pertolongan Allah SWT dan hanya bersandar kepada-Nya.
Toh, kehidupan yang sesungguhnya ada di kampung akherat. Saat peradilan di yaumul hisab kelak, mulut-mulut penguasa zalim akan dikunci, berbicara lah tangan dan kaki mereka tentang apa yang telah mereka lakukan. Dan kita umat Islam, akan menjadi saksi atas kezaliman yang mereka ditimpakan.