(Panjimas.com) – Hari santri dinodai dengan pembakaran bendera tauhid. Pelakunya, oknum Banser. Tragedi itu diketahui publik dimulai dengan beredarnya video viral yang memperlihatkan beberapa oknum anggota Banser membakar bendera dengan tulisan tauhid. Sontak, kejadian itu mengundang keperihatinan. Banyak yang sedih sekaligus tak sedikit yang marah melihat pemandangan pelecehan demikian.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah memberikan komentar. Ketua MUI KH Muhyiddin Junaidi, mengutuk keras oknum yang melakukan pembakaran tersebut. Dia menyesalkan kasus ini terjadi di tengah suasana Hari Santri Nasional 2018.
Bagi Kiai Muhyiddin, pembakaran bendera tauhid mencerminkan perilaku yang tidak bermoral. Para pelakunya telah mempertontonkan suatu kebodohan yang justru merusak citra seluruh umat Islam di Tanah Air. Baginya, dengan kejadian ini menjadikan narasi Islam wasathiyah yang dipromosikan Indonesia menjadi bahan tertawaan dunia.
Sayangnya, seperti biasanya, petinggi Banser tak pernah merasa bersalah sedikitpun. Dalam peristiwa ini, Ketua Umum PP GP Anshor Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan bahwa anggotanya membakar bendera itu karena melihatnya sebagai bendera HTI, ormas yang telah dibubarkan pemerintah. Sebuah ormas yang dianggap anti Pancasila.
Dalih sepihak demikian, saya kira perlu didialogkan agar ke depan, peristiwa semacam ini tak terjadi lagi. Sebuah kasus yang berpotensi menyulut konflik dengan umat Islam yang tak sepakat dengan cara-cara Banser. Yang, memang kerap kontroversial akhir-akhir ini. Termasuk, kita juga perlu mengkritisi misalnya komentar intelektual liberal Azyumardi Azra di media yang cenderung menyalahkan HTI untuk tak lagi memprovokasi dengan mengibarkan benderanya.
Bagi saya, kesalahan mereka yang yang setuju atau maklum terhadap pembakaran bendera tauhid itu berawal dari satu pikiran. Itu bendera HTI, wajib “diberangus” karena anti NKRI, anti Pancasila. Padahal bendera tauhid bukan monopoli HTI. Banyak umat Islam, ormas Islam meyakini bendera tauhid itu suci, panji Rasulullah, harus dihormati, bukan melulu diklaim simbol HTI. Cara berpikir picik dan cupet inilah yang membuat Banser seolah telah membela Pancasila tapi sebenarnya hanyalah tindakan konyol belaka.
Kenapa ini terjadi? Saya kira karena terlalu percaya diri dengan kampanye “Saya Pancasila, NKRI Harga Mati”. Seolah mereka sendiri pendukung setia Pancasila, kelompoknya sendiri yang cinta NKRI. Yang lain tidak. Inilah penyebab utamanya. Hasilnya apa? Ya kekonyolan dan tragedi di hari santri ini sebagai buktinya. Termasuk, di sisi lain juga melahirkan kader-kader model Abu Janda dengan opini-opini naifnya yang sengaja terus dipelihara.
Kini, pasca tragedi itu, beredar banyak “asesoris” kalimat tauhid. Anak-anak muda muslim militan non Banser, non liberal malah bangga misalnya bisa memakai topi dengan tulisan kalimat tauhid. Apakah ini tanda dan bibit anti Pancasila, anti NKRI? Saya kira tidak. Kenapa? Memakai topi itu bukan berarti menunjukkan mereka anggota HTI. Tapi semua yang berpikir waras tahu, itu sekadar ekspresi kecintaan mereka terhadap tauhid, lebih tepatnya kecintaan mereka terhadap Islam.
Mungkin ada yang berkomentar nyinyir cinta Islam kok sebatas simbol saja, tidak substantif. Biar saja, toh pelan-pelan mereka juga bersemangat terus belajar agama walau bukan dari kalangan santri. Sebuah fenomena yang kita kenal dengan apa yang akrab kita dengar, “Pemuda Hijrah”.
Dan, saya kira ini perkembangan menarik. Kenapa? Biasanya mereka inilah penggerak utama masjid plus dengan kreativitas dakwah ala milenialnya. Memang, perkembangan demikian agak menakutkan, apalagi dalam konteks politik. Kenapa? Karena generasi didikan ini tidak pernah akan memilih misalnya pemimpin dikalangan muslim yang jelas-jelas nyinyir terhadap agamanya sendiri. Apalagi kalangan non muslim yang jelas jelas memusuhi Islam, umat Islam, apalagi yang terbukti suka menista agama. Dan ini bahaya Bung. Sampai di sini, semoga pandangan sederhana saya ini bisa dimengerti. []
Penulis, Yons Achmad, Kolumnis,
tinggal di Depok