(Panjimas.com) – Pada kesempatan menghadiri persidangan terdakwa Ahmad Dhani, Senin, 15 Oktober 2019, penulis telah memberikan keterangan sebagai ahli hukum pidana yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum. Sebagaimana diketahui, Ahmad Dhani didakwa oleh Penuntut Umum dengan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sesuai dengan namanya delik penyertaan (deelneming) dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh mayoritas ahli hukum pidana dimaknai sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana dan bukan merupakan sebagai perbuatan pidana.
Ajaran tentang delik turut serta adalah buah pikiran Von Feurbach, sarjana hukum bangsa Jerman. Menurut Von Feurbach, dalam delik turut serta, terdapat dua jenis peserta. Pertama, mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana. Kedua, mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka – pada yang disebut pertama – yaitu mereka yang tidak langsung berusaha. Mereka yang termasuk golongan pertama disebut auctores atau Urheber, sedangkan mereka yang termasuk golongan kedua disebut Gehilfe. Urheber, adalah yang melakukan inisiatif dan Gehilfe adalah yang membantu saja. Pembagian dalam dua golongan inilah yang juga dianut dalam Pasal 55 KUHP. Disebut mereka yang termasuk golongan Urheber adalah yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), yang turut serta (medepleger), dan yang membujuk melakukan (uitlokker), sedangkan dalam Pasal 56 disebut mereka yang menjadi Gehilfe, yaitu orang yang membantu (medeplichtige).
Penulis dalam kapasitas sebagai ahli hukum pidana memandang penting menyampaikan delik turut serta, sebab terkait dengan konstruksi dakwaan Penuntut Umum yang menjunctokan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pada prinsipnya, delik penyertaan memfokuskan pada pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, bukan menyangkut perbuatan pidana. Pada perkara Ahmad Dhani, perbuatan pidana yang didakwakan adalah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Namun, sesuai fakta yang terungkap di persidangan, ternyata Penuntut Umum menuntut tunggal (incasu Ahmad Dhani), tanpa adanya orang lain. Terhadap konstruksi dakwaan yang demikian, tentu menimbulkan permasalahan yuridis yang sangat signifikan dan tentunya menentukan untuk dapat atau tidaknya perkara tersebut dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dakwaan Penuntut Umum tersebut tentu tidak sejalan dengan konstruksi delik turut serta. Pompe memberikan persyaratan bahwa dalam turut serta harus adanya dua kesengajaan, yakni ; pertama, harus adanya kesengajaan untuk mengadakan kerjasama guna mewujudkan perbuatan pidana diantara para pelaku dan kedua, kerjasama yang konkrit dalam mewujudkan perbuatan yang dikehendaki tersebut. Kedua persyaratan tersebut bersifat mutlak dan harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Hal ini didasarkan pada postulat “agentes et consentienties pari poena plectenture”, artinya pihak yang bersepakat dan melakukan perbuatan akan mendapatkan hukuman yang sama. Sejalan dengan Pompe, Moeljatno menyatakan bahwa dalam medepleger, terdapat pertemuan elemen melawan hukum, yakni elemen melawan hukum subjektif (subjectief onrechtselement) sebagai sikap batin di antara pelaku dan elemen melawan hukum objektif (objectief onrechtselement) dengan menunjuk pada adanya kerjasama yang konkrit para pelaku tindak pidana.
Ahmad Dhani didakwa oleh Penuntut Umum melakukan delik turut serta, maka seharusnya dinyatakan dengan tegas dalam dakwaan Penuntut Umum dengan adanya rumusan kalimat : “Terdakwa dan …… bersama-sama dan bersekutu telah melakukan perbuatan pidana.” Kata-kata “bersama-sama” menandakan adanya objectief onrechtselement, yakni adanya kerjasama yang konkrit antara Ahmad Dhani dengan yang lainnya sebagai pelaku tindak pidana. Adapun kata-kata “bersekutu” menunjuk adanya subjectief onrechtselement, yakni menunjuk pada kondisi sikap batin antara Ahmad Dhani dengan yang lainnya.
Dengan tidak adanya orang lain pada perkara yang didakwakan, maka seharusnya dari sejak awal perkara tersebut tidak dapat ditingkatkan ke dalam tahap penuntutan. Dikatkan demikian, oleh karena tidak ada perjumpaan objectief onrechtselement dan subjectief onrechtselement antara Ahmad Dhani dengan orang lain, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Bersambung). [RN]
Jakarta, 15 Oktober 2018
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H
Ahli Hukum Pidana Aksi Bela Islam 212, Ketua Umum Habib Rizieq Syihab (HRS) Center, Ketua Dewan Pembina Lembaga Advokasi DPP Partai Bulan Bintang, Ketua Dewan Pakar DPP Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI), Pembina Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Baladhika Indonesia Jaya.