(Panjimas.com) – Kasus Ratna Sarumpaet sejatinya adalah perkara kriminal biasa. Terhadap apa yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet tentunya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada orang lain, sepanjang orang lain dimaksud tidak memiliki kesalahan (mens rea). Menurut ajaran hukum pidana, pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Pada Ratna Sarumpaet, penyidik dapat menerapkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU PHP), dimana unsur “dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat” dipandang sudah terpenuhi, dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. Selain sangkaan pasal tersebut, kepadanya dapat pula dikenakan ketentuan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sepanjang yang bersangkutan menyebarkan informasi tersebut melalui sistem elektronik dan ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Adapun pelaporan terhadap sejumlah tokoh antara lain Prabowo Subianto, Amien Rais, dan lain-lain dengan dalil turut menyebarkan berita bohong (hoaks) patut dipertanyakan, apalagi dinyatakan sebagai bentuk konspirasi dan pemufakatan jahat. Perlu disampaikan, bahwa seseorang tidak dapat dipidana, jika memang ia tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Prabowo, Amien Rais, dan lain-lainnya adalah dalam posisi tidak mengetahui mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi, singkat kata terjadi sesat fakta pada mereka. Justru mereka adalah sebagai korban kebohongan Ratna Sarumpaet. Pengakuan Ratna Sarumpaet bahwa ia telah melakukan kebohongan merupakan “fakta sudah berbicara sendiri” (res ipsa loquitur).
Dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld, latin : actus non facit reum, nisi mens sit rea). Kesalahan merupakan dasar pemidanaan atau yang menimbulkan hak untuk memidana. Kesalahan adalah sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana, dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet) dan kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa). Dapat dikatakan bahwa tanda kesalahan adalah kesengajaan. Dalam KUHP tidak dijelaskan secara komprehensif tentang kesengajaan dimaksud. Hanya saja, apabila dilihat dari segi penafsiran historis dari KUHP itu sendiri yakni “Memorie van Toelichting” dari Wetboek van Strafrecht (KUHP), didefinisikan bahwa sengaja sama dengan “willens en wetens”. Tegasnya dalam kesengajaan mempersyaratkan adanya unsur menghendaki dan mengetahui (willens en wetens).
Apabila kita menggunakan interpretasi futuristik dengan melihat rumusan Rancangan KUHP, maka kita temui adanya penjelasan tentang pertanggungjawaban pidana, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 34, sebagai berikut:
“Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana-tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.”
Jadi, pada kesalahan, mensyaratkan adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Dengan demikian, seseorang yang tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat yang dilarang, merupakan petunjuk bahwa tidak ada hubungan psikis dengan perilakunya.
Sesuai dengan judul tulisan ini, pihak-pihak lain yang dilaporkan sebagai pihak yang telah menyebarkan berita bohong, tentu tidak dapat diterima. Konstruksi hukum tentang penyertaan (deelneming), sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mensyaratkan adanya perjumpaan sikap batin dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan delik (incasu berita bohong). Logika hukumnya bagaimana mungkin mereka sebagai pihak yang dibohongi (korban), kemudian mereka dicelakan sebagai pihak yang menyebarkan berita bohong dan oleh karenanya dikatakan terdapat kesengajaan. Oleh karena itu, kepada mereka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, baik menurut UU PHP maupun UU ITE. [RN]
Jakarta, 10 Oktober 2018
Penulis, DR Abdul Chair Ramadhan, SH, MH
Ahli Hukum Pidana Aksi Bela Islam 212, Ketua Umum HRS Center, Ketua Dewan Pembina Lembaga Advokasi DPP Partai Bulan Bintang, Ketua Dewan Pakar DPP Ikatan Advokat Muslim Indonesia, Dosen Tetap Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana.