[Catatan Duka dan Nestapa Palu & Donggala]
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
(Panjimas.com) – Saya cukup terkejut, ketika menyimak diskusi tentang bencana dan penanganan dampak bencana, dengan membuat dikotomi pemimpin ini dan itu, partai ini dan itu, pro capres ini dan itu. Padahal, rakyat yang menjadi korban tidak pernah melihat perbedaan siapa yang menolong, tetapi mereka membutuhkan penanganan dari entitas politik, dari pemimpinnya, dari pemerintah yang satu, penerintah Republik Indonesia.
Misalnya saja ada yang mengunggah syarat penetapan status bencana nasional adalah lumpuhnya pemerintahan di daerah, kemudian mengunggah pemerintahan di daerah dari entitas politik yang berbeda sehingga ‘persetujuan pernyataan status bencana nasional’ bukan diajukan atas pertimbangan penanganan dan pelayanan maksimal kepada korban gempa, tetapi lebih kepada ‘membuang pertanggungjawaban politik’ dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Mempertahankan status bencana dan tidak menaikkannya, dianggap ikut menjaga gengsi pemerintah di daerah, dan itu dianggap pernyataan permakluman kepada pemerintahan di daerah yang berbeda preferensi politik dengan pemerintah pusat. Artinya, pertimbangan rakyat atau korban bencana tidak lagi menjadi prioritas, justru pertimbangan politik dan pencitraan malah mendominasi.
Sejak penerapan rezim otonomi daerah, negeri ini memang tidak lagi murni menjadi negara kesatuan yang utuh. Negara kesatuan secara formal, tetapi faktanya negara federal secara substansial. Pemimpin pusat (presiden) tidak merasa menjadi pemimpin atas semua daerah, tetapi hanya memimpin dan mengurusi daerah yang pemimpinnya satu partai, satu koalisi, satu haluan.
Sebaliknya, pemimpin di daerah juga demikian. Tidak tunduk pada satu kepemimpinan nasional, tetapi justru tunduk pada garis komando dan loyalitas kepada struktur pimpinan partai.
Anda tidak perlu heran, misalkan saja ketika seorang gubernur memanggil pejabat bupati atau walikota di daerahnya. Pejabat bupati atau walikota seringkali tidak hadir, hanya mengutus sekda atau yang setara dengannya, karena menganggap bupati atau walikota bukan bawahan gubernur. Kepala daerah merasa mendapat mandat kekuasaan langsung dari rakyat melalui Pilkada, bukan ditunjuk atau ditetapkan langsung oleh gubernur atau presiden.
Banyak program pemerintahan yang tidak efektif akibat adanya ego sektoral, sekat-sekat politik, apalagi jika pelayanan rakyat pada tahun politik. Semua bukan sibuk melayani rakyat, berlomba memikirkan urusan rakyat, tapi justru sibuk mengukur benefit politik apa yang bisa dipetik, elektabilitas siapa yang diuntungkan melalui penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan.
Pada kasus gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, rakyat tidak peduli bantuan itu darimana, dari Pemerintah pusat atau daerah, dari koalisi partai apa. Yang dibutuhkan rakyat adalah layanan dari negara kepada rakyat. Tindakan negara yang menjalankan kewajiban konstitusional untuk menangani musibah dan bencana yang dialami rakyat.
Seharusnya itu pula yang dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah, baik koalisi partai pro Jokowi atau pro Prabowo. Semua bertindak atas kapasitas pemerintahan yang satu yang memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat.
Faktanya, entah karena tahun politik dan berburu benefit politik Pemerintah bukan sibuk melayani, tapi sibuk mencari engle camera terbaik, posisi paling oke, kemudian sibuk berselfi ria mengunggah bahasa ‘telah berbuat maksimal’ untuk korban gempa, lantas meninggalkan korban sepi sendiri menghadapi musibah. Para wartawan sibuk mengabarkan kunjungan penguasa di lokasi gempa, melupakan kabar jerit dan tangis korban yang selain menjadi korban gempa juga menjadi korban pencitraan.
Selama bangsa ini belum merasa menjadi bangsa yang satu, sulit sekali program layanan kepada rakyat dapat dijalankan secara murni dan dapat diberlakukan secara efektif dan berdampak langsung kepada rakyat. Belum lagi, ketika penguasa tidak sanggup membangun visi bangsa yang satu, mereka justru sibuk menyatukan bangsa di dunia dengan agenda bermegah, pesta pora diatas penderitaan korban gempa, menjamu para rentenir dan lintah darat dunia dalam agenda Anual meeting IMF – WB di Bali.
Ini adalah ironi yang menjadi bibit perpecahan bangsa. Kegagalan menyatukan bangsa dalam penanganan bencana ditambah gagal berempati pada korban bencana dengan memaksa triliunan anggaran untuk pesta pora menjamu peserta Annual Meeting IMF – WB, akan memicu disharmoni bahkan disintegrasi.
Penulis kira seluruh elemen anak bangsa, putra terbaik bangsa ini perlu berfikir dan mengambil sikap atas potensi perpecahan dan disintegrasi, baik dipicu gagalnya negara bertindak sebagai entitas politik dan bangsa yang satu, gagalnya negara memberikan empati atas derita yang dialami rakyat, juga potensi asing yang memang memiliki visi memecah-belah bangsa, kemudian menguasainya dengan harga yang murah. Potensi bangsa ini tidak utuh, bahkan tidak menunggu tahun 2030 perlu diantisipasi. Sudah seharusnya, negara bertindak sebagai entitas yang satu, bangsa yang satu, bukan hanya menjalankan fungsi petugas partai.