(Panjimas.com) – Berita terkait duka etnis muslim di Rohingya sudah lama tak terdengar. Namun apakah ini pertanda baik-baik saja?
Nyatanya tidak. Baru baru ini amnesty PBB memberitakan hal yang serupa seperti kejadian genosida di Rohingya pada tahun tahun sebelumnya.
Genosida atau genosid (Bahasa Inggris: genocide) adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’).
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi
Seperti yang telah dikutip oleh republika.co.id, Sekretaris Jenderal Amnesty International Kumi Naidoo mengatakan laporan tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menambah bukti genosida terhadap Muslim Rohingya. Sebab sebelumnya, lembaganya telah menyusun laporan serupa.
“Sebagai Amnesty International, kami senang dengan perilisan (laporan) terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan terhadap Muslim Rohingya. Laporan itu menegaskan nama para jenderal dari militer Myanmar yang diumumkan Amnesty International dalam laporan sebelumnya,” kata Naidoo pada Kamis (30/8), dikutip laman Anadolu Agency.
Menurutnya apa yang terjadi di Rakhine bukan hanya sekadar konflik. Pembantaian terhadap Muslim Rohingya merupakan tindakan disengaja dan direncanakan. “Ini sama saja dengan genosida dan pembersihan etnis,” ujarnya.
“Oleh karena itu, kami telah mendokumentasikan secara ekstensif kampanye pembersihan etnis militer termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, kelaparan paksa, deportasi paksa, serta pelanggaran HAM serius lainnya terhadap Rohingya,” kata Naidoo menambahkan.
Naidoo mengatakan, Amnesty telah merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk menahan mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian Rohingya. Hal itu termasuk mendesak Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi di Rakhine ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing di ICC.
Sejak Agustus 2017, lebih dari setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka kabur guna menghindari kebrutalan militer Myanmar yang menggelar operasi pemburuan terhadap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army. Dalam operasinya, militer Myanmar turut menyerang dan menumpas warga sipil di daerah tersebut.
Aksi pembersihan etnis Rohingya dilakukan secara terencana
Anggota Misi Pencari Fakta PBB melakukan wawancara dengan sejumlah etnis yang tinggal di Rakhine. Mereka semua adalah korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius dari pasukan keamanan Myanmar. Menurut Misi Pencari Fakta PBB pelanggaran HAM yang dialami satu etnis dengan etnis lainnya memiliki kesamaan.
Hal itu misalnya, mereka diusir secara paksa dari tanahnya, ditahan secara sewenang-wenang, dan lainnya. Kemudian kaum perempuan mengalami kekerasan seksual. Salah satu korban mengungkapkan, pada 2017, dia dipukuli dan diperkosa Tatmadaw di sebuah pangkalan militer.
Hal-hal itu pula yang dialami Rohingya. “Di Negara Bagian Rakhine, umat Muslim seperti di penjara, mereka tidak bisa bepergian keluar. Tidak ada HAM untuk Muslim Rakhine. Saya tidak tahu mengapa Allah mengirim kita ke sana,” kata salah satu Muslim Rohingya yang diwawancara Misi Pencari Fakta PBB.
Menurut Misi Pencari Fakta PBB, salah satu faktor yang mendorong diskriminasi terhadap Rohingya adalah kebijakan kewarganegaraan. Kebanyakan Rohingya, secara de facto, tak memiliki kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan mereka dirampas secara sewenang-wenang.
Hal itupun tak dapat diselesaikan melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar pada 1982. Dalam UU itu dijelaskan tentang proses verifikasi yang harus dilalui sebelum mendapatkan kartu kewarganegaraan. Masalahnya terletak pada konsep “ras nasional” dan retorika eksklusif yang berasal di bawah kediktatoran perdana menteri Myanmar Ne Win pada 1960.
Atas temuan-temuan tersebut, Misi Pencari Fakta PBB menyebut bahwa militer Myanmar memiliki niat untuk melakukan genosida terhadap Rohingya. Sebab apa yang disebut sebagai “operasi pembersihan” tak dilakukan secara spontan, tapi terencana.
Sementara itu pertemuan yang diadakan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar untuk membicarakan reformasi politikpun tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Reaksi masyarakat internasional terhadap genosida pada Muslim Rohingyapun sangat lambat bahkan cendrung terjadi pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas tertingi dalam melindungi warga negaranya. Sehingga, pembantaian terhadap Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun. slim Rohingya di Myanmar sering digambarkan sebagai orang-orang yang paling sering mengalami persekusi di dunia.
Dimana mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara tetangga, miskin, tak punya kewarganegaraan, dan dipaksa meninggalkan Myanmar dalam beberapa dekade terakhir
Siapakah yang dapat menyelamatkan muslim rohingya?
Persaudaraan dalam Islam mengandung arti cukup luas tetapi persaudaraan antar sesama muslim adalah pertama dan sangat utama. Sebagiamana disebutkan dalam ayat:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (Q.S. Al-Hujurat: 10).
Dalam syari’at Islam banyak ajaran yang mengandung muatan untuk lebih mempererat tali persaudaraan dan solidaritas sesama umat Islam, seperti zakat, qurban, ibadah haji, shalat berjamaah, dan lain-lain.
Hakekat persaudaraan dalam Islam adalah saling memperhatikan, dalam artian saling memahami, saling mengerti, saling membantu, dan membela terhadap sesame sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW. Diatas yang disabdakan karena adanya sahabat yang membantu dan membela saudaranya yang diserang atau dianiaya oleh orang lain. Saling memperhatikan boleh jadi karena didorong oleh adanya persamaan tujuan hidup dan visi misi dalam mengarungi kehidupan serta pedoman antar satu dengan yang lainnya.
Perumpamaan Umat Islam sebagaimana digambarkan Rasulullah Saw. bagaikan satu tubuh. Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
Artinya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim).
Lalu, apakah doa cukup membantu saudara muslim kita yang sedang tertindas secara keji disana? Tentu tidak. Maka disini perlunya kita bersinergi dengan sistem pemerintahan yang dapat membantu kita untuk lebih optimal lagi membantu sudara muslim minoritas dan tertindas. Dimana dengan sistem itu keamanan terjamin bagi para penduduk bumi yang berada dibawah naungan system tersebut, bukan hanya dapat muncul sebagai laporan harian tanpa aksi untuk memberantas kedzoliman tersebut.
Dengan sistem sempurna tersebutlah semua masyarakat akan merasa aman dalam menjalankan masing masing aturan agamanya tanpa perlu khawatir adanya genosida oleh pihak pihak yang tidak berperi kemanusiaan.
Sejatinya sistem paripurna itu hanyalah milik Islam, dimana keamanan dan kebebasan beribadah sesuai paham yang dianutnya benar benar sebuah fakta. Bukan retorika. Atau bahkan ilusi semata. Wallahu a’lam. [RN]
Penulis, Fathimah Adz