[Catatan Hukum Menuju Aksi Bela Suherman Jilid 3]
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Menarik jika kita mencermati fakta persidangan terhadap Terdakwa Suherman pada hari Rabu, 6 September 2018 di Pengadilan Negeri Bekasi. Kehadiran saksi fakta, justru mengkonfirmasi perkara yang didakwakan kepada Suherman adalah perkara sumir dan cenderung dipaksakan.
Pertama, dari 4 (empat) saksi yang dihadirkan jaksa dari pihak gereja, saksi yang mendapat konten diduga hoax bukan dari terdakwa Suherman. Tidak ada satupun saksi yang secara langsung mendapatkan kiriman konten dari Terdakwa berupa gambar atau foto diduga dokumen perjanjian antara antara Drs. H. Rahmad Effendi (Wali Kota Bekasi) dengan Pdt. Joskusport Silalahi, SH (persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Setempat Kota Bekasi), Romo Yustinus Kasaryanto.Pr (Gereja Dekenat Katolik Bekasi), Pdt. Yohanes Nur,STh (Badan Musyawarah Antar Gereja Lembaga Kristen Indonesia/BAMAGLKKI Kota Bekasi) dan Pdt. Dr.Subagio Sulistyo (Persekutuan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia/PGPI Kota Bekasi).
Seluruh saksi justru memperoleh konten gambar atau foto diduga dokumen Perjanjian itu dari GWA komunitas gereja dan beberapa jemaat gereja secara japri (jaringan Pribadi).
Pendeta Yohanes Nur, saksi pelapor menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan konten berisi perjanjian dukungan gereja terhadap Rahmat Effendi dalam gelaran Pilkada dari WhatsApp grup komunitasnya. Pendeta Joskuport Silalahi menjelaskan bahwa dia mendapatkan konten dokumen perjanjian tersebut dari grup sosial media WhatsApp komunitasnya yang bernama ‘PGIS’ (grup Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Setempat Bekasi).
Bahkan, Romo Yustinus Kasaryanto, Pr, selain dari group jemaat gereja dia mendapatkan konten tersebut secara japri dari beberapa orang diantaranya dari seorang jemaat yang bernama Lasinus. Konten tersebut ditransmisikan oleh Lasinus melalui aplikasi WhatsApp.
Kedua, para pendeta mengaku nama dan tanda tangannya dicatut. Merasa dirugikan dengan konten yang diduga hoax. Anehnya, ketika saksi dari para pendeta diminta menunjukan KTP untuk membandingkan tanda tangan KTP dengan bukti konten yang diduga hoax semuanya menolak.
Bahkan, para saksi dari gereja mengaku belum pernah diminta untuk membubuhkan spesimen tandatangan sebagai pembanding ketika menjalani pemeriksaan di tingkat kepolisian. Penyidik juga tidak pernah melakukan uji forensik terkait otentifikasi dokumen yang dipermasalahkan.
Ketiga, pemeriksaan saksi ditingkat penyidikan adalah untuk mengetahui fakta yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi. Anehnya, salah satu saksi bernama Keke, namanya tidak tercantum dalam dokumen perjanjian yang dimaksud dalam persidangan, namun dirinya mengaku diperiksa penyidik mewakili ketuanya yang sedang sakit (pendeta Dr. Subagyo Sulistio).
Bagaimana mungkin memeriksa saksi yang tidak terkait fakta ? Kenapa saksi diterima keterangsn nya dengan surat kuasa, padahal dia tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri ? Mana ada pemeriksaan saksi yang di BAP diwakili ? Bukankah ini hanya testimoni de auditu yang tidak bernilai dimata hukum ?
Keempat, dakwaan jaksa adalah pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran kebencian bersasarkan SARA. Tapi kenapa peneriksaan saksi justru diarahkan pada tercemarnya nama saksi karena namanya dicatut dalam dokumen yang diduga hoax ? Kenapa pula saksi berulang kali menyebut dokumen itu hoax ? Seharusnya, jika ini perkara pencemaran dan penyebaran hoax melalu media IT, pasal yang didakwakan pasal 27 ayat (1) tentang pencemaran nama baik dan pasal 35 UU ITE tentang mengubah dokumen menjadi seolah otentik (asli). Antara dakwaan dan arah kesaksian tidak nyambung.
Kelima, jika dakwaan kasus adalah ujaran kebencian berdasarkan SARA sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE, kenapa Suherman yang ditangkap ? Bukannya anggota di komunitas gereja yang mengirim konten kepada para saksi ? Kenapa bukan jemaat gereja yang japri kepada pendeta yang diproses ? Kenapa Suherman yang diburu ? Bahkan, semua saksi tidak kenal Suherman, tidak pernah dikirimi konten dari Suherman.
Dari sisi politik, kasus ini cenderung dipaksakan. Laporan dari seorang pendeta, langsung ditindak, Suherman langsung ditangkap dan ditahan. Pada prosesnya, ada satu saksi yang di BAP bukan saksi tetapi wakilnya dengan kuasa.
Apalagi Rahmat Efendi menyebut sudah memaafkan, tetapi kenapa perkara dilanjutkan ? Bukankah di kepolisian berdasarkan surat dari Kapolri, bisa memediasi dan mengambil upaya damai dengan pendekatan Restoratif Justice untuk menyelesaikan persoalan. Kenapa walikota justru membiarkan perkara terus bergulir ?
Walikota Rahmat Efendi pernah menyebut dirinya siap ditembak kepalanya saat melindungi IMB gereja santa Clara. Kenapa itu tidak dilakukan kepada Suherman ? Tidak perlu ditembak, cukup memfasilitasi mediasi agar perkara dihentikan dengan pendekatan restoratif justice. Lantas kenapa ini semua tidak diambil ? Walikota rahmat Efendi wajib dihadirkan dalam persidangan untuk dikonfirmasi keterangannya.
Karena itu, aksi di kantor walikota bekasi penting dilakukan agar kedepan tidak ada lagi kriminalisasi terhadap aktivis dakwah, ulama, habaib dan elemen Islam. Aksi juga penting untuk menyampaikan pesan nasehat, agar walikota bertindak adil dan melindungi warganya. Walikota tidak boleh diskriminatif, melindungi gereja tetapi membiarkan kriminalisasi terjadi pada umat Islam.
Aksi juga Penting untuk memberi jaminan dan kepastian hukum terhadap umat Islam, baik dalam kasus Suherman maupun kasus umat Islam lainnya yang dikriminalisasi, agar kedepan tidak terulang kembali. Walikota harus diberi nasehat, meskipun rahmat Efendi belum dilantik. Pesan ini, bisa disampaikan kepada pejabat walikota eksisting, dan digaungkan ditengah umat, agar kedepan pengelolaan pemerintahan daerah tidak lagi mengambil kebijakan diskriminatif terhadap umat Islam.
Terakhir, ada kabar gembira permohonan penangguhan Suherman dikabulkan majelis hakim. Namun ingat, ini hanya penangguhan bukan pembebasan. Jika umat tidak mengontrol, Suherman dan terpisah pada Shodikin dengan kasus serupa, bisa saja nantinya diputus bersalah dan kembali mendekam dibalik jeruji penjara. [lbh-pelitaumat]