BEKASI (Panjimas.com) – Sidang lanjutan dengan terdakwa Ustadz Suherman kembali di gelar di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, pada Rabu (5/9/2018). Sidang kali ini mengagendakan mendengarkan keterangan dari para saksi. JPU menghadirkan empat orang saksi.
Saksi pertama yang dipersidangan adalah Yohanes Nur, dalam kesaksiannya Yohanes menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan konten berisi perjanjian dukungan terhadap Rahmat Effendi dari WhatsApp grup komunitasnya. Pria yang berprofesi sebagai pendeta ini menjelaskan bahwa isi konten tersebut tidak benar, sebab dirinya merasa tidak pernah menandatangani dokumen tersebut.
Saat ditanya hakim mengenai siapa yang membuat dokumen tersebut, pria kelahiran Ambon ini mengaku tidak tahu siapa pembuat dokumen tersebut, “Saya tidak tahu siapa yang membuat dokumen tersebut,” kata Yohanes di hadapan majelis hakim.
“Tapi saya tidak pernah menandatangani, saya merasa dirugikan,” ujar Yohanes.
Ketika ditanya tim pengacara hukum Ustadz Suherman, Yohanes mengaku belum pernah diminta untuk membubuhkan spesimen tandatangan sebagai pembanding ketika menjalani pemeriksaan di tingkat kepolisian. Bahkan penyidik tidak pernah menunjukkan hasil uji forensik terkait otentifikasi dokumen yang dipermasalahkan.
Saat diminta untuk menunjukkan KTP sebagai bahan komparansi, saksi ini tidak berkenan menunjukkan kartu identitas miliknya.
Saksi kedua adalah Jokusport Silalahi, pria yang juga berprofesi sebagai pengacara ini mengaku dirugikan oleh beredarnya dokumen perjanjian ‘Santa Clara’ tersebut.
“Saya merasa dirugikan karena nama saya dicantumkan dalam dokumen tersebut, dan tandatangan saya dipalsukan,” ujarnya di persidangan.
Pria kelahiran 18 juli 1965 ini menjelaskan bahwa dia mendapatkan konten dokumen perjanjian tersebut dari grup sosial media WhatsApp komunitasnya yang bernama ‘PGIS’.
Saat ditanya pengacara arti dari ‘PGIS’, Jokusport menjelaskan, “Itu grup Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Setempat Bekasi”.
Pria yang mengaku sebagai Penatua PGI ini menyatakan keberatannya atas beredarnya dokumen perjanjian yang dimaksud.
“Saya keberatan nama saya dan tandatangan serta nama organisasi dicantumkan di dokumen tersebut, sebab gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis,” tuturnya.
Saksi berikutnya yang diperiksa bernama Keke, namanya tidak tercantum dalam dokumen perjanjian yang dimaksud dalam persidangan, namun dirinya mengaku mewakili ketuanya yang sedang sakit.
Wanita kelahiran Balikpapan ini menyatakan bahwa nama ketuanya yang tercantum di dokumen tersebut. “Saya membawa surat kuasa (dari ketuanya),” kata Keke.
Saksi yang terakhir adalah Yustinus S Hariyanto, pria yang berprofesi sebagai pendeta katholik (Romo) ini mengaku tidak pernah menandatangani dokumen tersebut.
Saat ditanya mengenai darimana dirinya mendapatkan konten tersebut, dari seseorang yang bernama Lasinus. Konten tersebut ditransmisikan oleh Lasinus melalui aplikasi WhatsApp.
Perkara ini muncul setelah viralnya dokumen yang berisi perjanjian atau kesepakatan antara beberapa perwakilan gereja dengan calon Walikota Bekasi incumbent Rahmat Effendi.
Viralnya dokumen tersebut disikapi dengan pelaporan ke pihak kepolisian. Aparat Polres Kota Bekasi menangkap Ustadz Suherman karena dianggap ikut menyebarkan dokumen tersebut melalui jejaring media sosial WhatsApp. [AW/Amr]