Oleh Tony Rosyid*
(Panjimas.com) — Yang calon presiden Jokowi dan Prabowo. Tapi, yang berhadap-hadapan di lapangan adalah para pendukung Jokowi vs pendukung Neno Warisman.
Bagi Neno Warisman, juga bagi para pendukungnya, mungkin gak penting siapa lawan Jokowi di pilpres. Yang penting bagi mereka adalah “Ganti Presiden.”
Deklarasi Neno Warisman di berbagai kota, itu bukan deklarasi Prabowo-Sandi. Deklarasi mereka adalah #2019GantiPresiden. Apakah ini kampanye terselubung untuk Prabowo-Sandi? Sepertinya tidak.
Tagar 2019GantiPresiden lahir jauh sebelum jelas siapa bakal calon lawan Jokowi. Siapapun lawan Jokowi akan diuntungkan oleh gerakan Neno Warisman ini. Hanya faktor kebetulan saja yang akhirnya dapat tiket nyapres dan menjadi lawan Jokowi adalah Prabowo-Sandi.
Gerakan 2019GantiPresiden masif. Direncanakan akan merambah seluruh kota. Tujuannya satu: mengajak rakyat untuk ganti presiden di 2019. Loh, kenapa presiden harus diganti?
Bagi Neno Warisman dan para pendukungnya, ada dua alasan untuk ganti presiden. Alasan rasional dan alasan emosional.
Alasan rasionalnya? Pertama, presiden dianggap tak menepati janji. 66 janji kampanye hampir semua terabaikan. Bagaimana mau janji lagi, kalau janji kampanye 2014 tak ditepati.
Kedua, rakyat makin susah hidup. Harga-harga naik, subsidi satu-persatu dicabut, cari pekerjaan makin sulit, pengangguran bertambah banyak dan utang negara pun menghawatirkan.
Ketiga, kedaulatan negara terancam dengan banyaknya serbuan pekerja kasar dan ilegal dari China. Juga masifnya ekspor narkoba secara ilegal. Emang ada ekspor narkoba legal?
Keempat, hukum terlalu jauh masuk di lingkaran permainan politik. Kasus hukum jadi komoditas dukung-mendukung. Sandera dijadikan peluru untuk menekan berbagai pihak yang berseberangan.
Alasan emosionalnya? Beda politik dikebiri dan dipersekusi. Kritik berisiko berhadapan dengan para preman. Ulama dan aktifis dipantau dan seringkali jadi korban.
Penghadangan di Bandara Batam dan Riau, bentrokan di Surabaya, pelarangan diskusi di Bangka Belitung, dan protes di Kalimantan Barat memicu emosi rakyat yang menginginkan ganti presiden. Akibatnya, nama Neno Warisman malah makin membesar dan menjadi simbol perlawanan terhadap Jokowi.
Daftar alasan itu yang menguatkan “jihad” Neno Warisman dan para pendukungnya untuk mengikhtiarkan tekad 2019GantiPresiden.
Neno Warisman saat ini menjadi pemimpin kelompok masyarakat yang punya pilihan politik 2019GantiPresiden. Ia bukan timses, bukan juga pengurus atau anggota partai tertentu. Gerakannya adalah gerakan moral. Bukan gerakan politik partisan dan sektarian.
Bagi Neno dan para pendukungnya meyakini bahwa untuk menyelamatkan Indonesia satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah ganti Jokowi di 2019. Tak ada cara lain. Karena itu, mereka menggelar gerakan 2019GantiPresiden di berbagai kota. Melanggar hukumkah? Ternyata tidak.
Gerakan 2019GantiPresiden yang dikomandoi Neno Warisman mendapat tantangan dari sejumlah pihak yang diduga sebagai para pendukung Jokowi. Dimanapun deklarasi Ganti Presiden diadakan, akan diburu dan digagalkan. Bahkan kadang terjadi bentrokan seperti di Surabaya, Ahad (26/08).
Neno Warisman nampaknya tak surut langkah. Begitu juga kelompok yang diduga para pendukung Jokowi. Apakah Jokowi mengetahui ulah sekelompok orang yang diduga pendukungnya itu melakukan demo dan penghadangan Neno? Yang jelas, belum ada statement Jokowi menghimbau mereka untuk menghentikan penghadangan.
Yang pernah disampaikan Jokowi kepada para pendukungnya saat acara di Sentul adalah “jangan berkelahi. Tapi jika diajak berkelahi, lawan dan jangan lari”. Kurang lebih seperti itu kesimpulan dari pesan pidato Jokowi.
Faktanya, pendukung Neno Warisman dan kelompok yang diduga suruhan itu seringkai berhadapan secara fisik. Sampai kapan? Bergantung sikap aparat. Netral, maka akan segera selesai. Berpihak, kegaduhan akan terus berlanjut.
Rakyat dari semua lapisan tentu berharap aparat menjalankan tugasnya sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan kedamaian. Bersikap netral dan adil kepada semua anak bangsa.
Lalu, siapakah yang akan memenangkan pertarungan antara Neno Warisman vs Jokowi di 2019 nanti? Jika tragedi Batam, Pekan Baru Riau, Kalimantan Barat dan Surabaya terus terulang di wilayah lain, maka potensi Neno Warisman memenangkan pertarungan ini akan semakin besar. Jokowi akan jatuh martabat dan elektabilitasnya di mata rakyat. Tak menutup kemungkinan akan ada gerakan massal melawan tindakan represif dan otoritarianisme. Dan perlawanan itu ada di TPS-TPS.
Kalau Jokowi kalah dalam pilpres, maka Neno yang akan menjadi pemenangnya. Siapa yang akan menikmati kemenangan itu? Boleh jadi bukan Neno dan para pendukungnya. Rakyat Indonesiakah? Atau malah sekelompok oligarki baru? Kita tunggu 2019.
Jakarta, 27 Agustus 2018
*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa