Oleh: Yons Achmad
*Pengamat Medsos. CEO Kanet Indonesia
(PANJIMAS.COM) — Gerakan ini dicetuskan oleh Mardani Ali Sera kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Artinya, gerakan ini sebuah gerakan politik elit. Bukan murni gerakan rakyat arus bawah. Walau kemudian mendapat dukungan rakyat yang lumayan bagus. Ditandai dengan marak dan banyaknya peserta yang hadir dalam deklarasi di beberapa kota. Hanya saja dalam jagat politik kontemporer, apalagi sambut pemilihan presiden 2019 mendatang yang hanya diikuti dua pasangan, petahana Jokowi-Makruf Amin dan penantang (opisisi) Prabowo-Sandi, strategi demikian perlu ditafsir (dipikir) ulang.
Kenapa perlu ditafsir ulang? Agar langkahnya bukan hanya sekadar menjadi gerakan emosional saja. Akan tetapi bisa benar-benar membawa angin perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Dalam diskursus konstitusi, ada pandangan menarik dari Prof Jilmy Assidiqqie (Pakar Hukum Tata Negara) yang mengatakan bahwa gerakan #2019gantipresiden itu sah dan boleh-boleh saja, hanya saja yang menjadi masalah, dilakukan disaat belum waktunya berkampanye dan dengan kebencian kepada presiden yang sah.
Saya sendiri sepakat dengan pernyataan itu walau tak sependapat soal tuduhan menyebar kebencian. Kenapa? Yang ada sebenarnya bukan penyebaran kebencian kepada presiden yang sah, akan tetapi lebih didasarkan kepada sikap kritis menyikapi beragam kebijakan yang dilakukan Jokowi. Artinya, sebagai pakar hukum, tuduhan demikian sangat tendensius dan sangat tak berpihak kepada gerakan opisisi. Tapi, biarlah pandangan demikian berkembang, menjadi kembang-kembang, warna-warni argumen dalam menyikapi politik kekinian kita.
Yang perlu mendapat tafsir ulang lagi adalah munculnya gesekan sesama anak bangsa dilevel bawah. Kita sudah sama-sama tahu, baik di media mainstream maupun di media sosial, beredar berita dan foto maraknya penolakan deklarasi #2019gantipresiden. Tentu saja, kita tak menginginkan bentrok-bentrok yang kerap diwarnai dengan kekerasan fisik apalagi kelak mengakibatkan korban meninggal. Sebagai antisipasinya, memang diskusi soal gerakan #2019gantipresiden ini harus selesai dulu di level konsitusi.
Artinya apa? Pihak petahana dan oposisi harus duduk bersama. Kalau terus dilakukan pembiaran. Pihak istana tak setuju, pihak oposisi bersikeras gerakan ini sah. Sementara pihak aparat dinilai tendensius. Dan, arus pro kontra terus mengemuka, maka negeri ini bakal chaos, bakal kacau.
Tentang boleh tidaknya gerakan demikian show di alam nyata, kita tunggu bersama kesepakatannya.
Hanya, saya tertarik dengan ide Sandiana Uno yang mengatakan untuk sementara, gerakan #2019gantipresiden ini disuarakan saja di media sosial. Dan saya kira, gerakan #2019gantipresiden di media sosial memang bakal sangat efektif. Asal, lagi-lagi bukan semata melulu dilakukan dengan emosional semata, tapi dengan argumen-argumen meyakinkan plus kreativitas penyampaikan ide melalui video, teks atau info-info grafis yang ciamik tanpa perlu mengedepankan kebencian personal. Inilah PR gerakan #2019gantipresiden.
Gerakan ini, saya nilai akan efektif memikat para pemilih milenial. Dari data yang saya baca, saat ini, ada sekitar 55 persen pemilih dari generasi milenial (berusia 17-38 tahun), merekalah yang nantinya bakal ikut memilih di pentas panggung politik 2019. Jika ada kurang lebih 190 juta daftar pemilih tetap, artinya akan ada 100 juta milenial. Nah, dari jumlah tersebut 60 sampai 70 persennya aktif di media sosial. Maka, penyebaran ide dan gagasan perubahan di media sosial menjadi sangat efektif jika dilakukan dengan benar.
Di sini, tentu saya tidak berada dalam posisi melarang-larang gerakan deklarasi #2019gantipresiden dilakukan di berbagai kota. Saya hanya menawarkan perspektif keefektifan sebuah gerakan dilakukan, walau tentu saja masih banyak tantangan dan efek boomerang yang perlu diantisipasi.
Misalnya, apakah menyebut para penolak gerakan deklarasi #2019gantipresiden dengan sebutan para “Idiot” seperti kata Ahmad Dani itu layak dan bakal efektif? Biarlah ini menjadi bahan pemikiran para elit-elit gerakan. Bagaimanapun juga, kalau menginginkan gerakan politik rakyat seharusnya dilakukan dengan riang gembira, kalau jagonya memang mereka senang, kalau kalah biasa saja dan hidup harus terus lanjut.
Depok, 27 Agustus 2018.