Oleh: Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H.*
JAKARTA, (Panjimas.com) — Pascaputusan perkara penistaan agama dengan Terdakwa Ny. Meiliana, media mainstream sangat gencar membuat pemberitaan yang menyalahkan putusan Pengadilan Negeri Medan karena menjatuhkan vonis penjara 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan. Kontennya sendiri didominasi oleh pendapat dari pihak-pihak yang kontra tanpa menghadapkannya dengan pihak-pihak yang pro terhadap putusan tersebut.
Dari pendapat “Aktivis HAM” yang menuduh Majelis Hakim melakukan peradilan sesat, pendapat politisi partai berkuasa yang menganjurkan agar ditempuh jalan musyawarah sampai kepada komentar juru bicara organisasi masyarakat keagamaan, dimuat dan dikemas sedemikan rupa dalam rangka mencari justifikasi kesalahan vonis tersebut, meskipun pihak yang dimintai pendapat belum tentu telah membaca putusannya.
Menjadi permasalahan serius bahwa pemberitaan seperti itu tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap pengadilan yang konstruktif, akan tetapi malah menjadi “Pengadilan Di Atas Pengadilan” yang mendestruksi kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan. Alasan yang sering digunakan untuk membenarkannya adalah kemerdekaan pers dengan merujuk kepada hak konstitusional dalam kemerdekaan berekspresi, menyatakan pendapat dan hak untuk mengelola serta menyalurkan informasi, tanpa sedikitpun mengindahkan pembatasan yang digariskan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang denngan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Karena konstitusi Indonesia menyatakan Indonesia merupakan negara hukum yang berdemokrasi maka dalam waktu bersamaan Negara dituntut untuk menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjamin adanya kemerdekaan pers sebagai pilar utama demokrasi. Menyangkut hal itu Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers berasaskan supremasi hukum. Dalam kaitannya dengan lembaga peradilan sebagai tempat menegakkan hukum dan keadilan bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman melarang segala bentuk campur tangan dan tekanan-tekanan apapun baik fisik maupun psikis terhadap Pengadilan.
Terhadap relasi antara kemerdekaan pers dan supremasi hukum tersebut Supreme Court of California dalam kasus Times-Mirror Co. and L. D. Hotchkiss v. Superior Court of California menyatakan “Liberty of the press is subordinate to the independence of the judiciary“, yang berarti kemerdekaan pers tunduk kepada kemandirian peradilan (Elisha Hanson, Supreme Court on Freedom of the Press and Contempt by Publication, Cornell Law Review, Volume 27, Issue 2 February 1942, Page 177)
Sebagai wahana pembentuk opini, pers berkewajiban menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah” yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut”. Oleh karenanya pers dilarang menyatakan seseorang bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan secara a contrario pers dilarang pula menyalahkan putusan hakim karena menyatakan seseorang telah bersalah. Tidak diindahkannya ketentuan ini menjadikan pers masuk mencampuri kemandirian peradilan, atau yang lazim dikenal sebagai ‘contempt of court’.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung bahwa contempt of court merupakan perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Ketentuan contempt of court ini semata-mata ditujukan untuk menjaga kesakralan dan kewibawaan badan peradilan, bukan ditujukan untuk membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap pengadilan. Jangan sampai masyarakat tidak lagi mempercayai pengadilan hanya karena opini-opini pemberitaan. Larangan untuk mencampuri proses peradilan melalui pemberitaan merupakan hukum yang berlaku umum baik di negara yang menganut sistem anglo saxon maupun eropa kontinental dan bahkan terdapat Negara yang mengancamnya dengan sanksi pidana (Ida Keumala Jeumpa, Contempt Of Court: Suatu Perbandingan Antara Berbagai Sistem Hukum, Kanun Jurnal Ilmu No. 62, Th. XVI (April, 2014), halaman 168 s.d. 174).
Dalam kasus Meiliana, pers telah terlampau jauh membuat pemberitaan dengan menilai benar salahnya putusan Majelis Hakim dengan menuduh Majelis Hakim telah melakukan ‘unprofessional conduct’ dalam menjatuhkan putusan. Pemberitaan semacam itu jelas sebagai contempt of court karena bersifat merendahkan dan meremehkan Pengadilan. Selain itu pula tidak dapat disangkal bahwa pemberitaan tersebut mengandung tekanan-tekanan baik secara terselubung maupun secara terang-terangan kepada Pengadilan tingkat berikutnya, mengingat perkara Ny. Meiliani sampai dengan saat ini masih berlanjut (interference with justice as a continuing process).
Campur tangan dan tekanan yang dilakukan pers dalam kasus Meiliana merupakan pelanggaran dari sub judice rule yang melarang penggiringan opini dalam pemberitaan yang berpotensi (reasonable tendency) maupun secara nyata (clear and present danger) membahayakan kemandirian peradilan. Prinsip sub judice rule ini dimaksudkan agar pihak-pihak yang terlibat pada proses peradilan tidak terpengaruh oleh pemberitaan, yang dapat mengakibatkan mereka mengenyampingkan fakta-fakta dan bukti-bukti di persidangan. Alih-alih menjalankan fungsi kontrol sosialnya, pers malah menjadi pendikte pengadilan (trial by press). Konsekuensi dari dilanggarnya sub judice rule ini adalah menurunnya kualitas putusan, yang pada akhirnya dapat menjadikan masyarakat antipati terhadap Pengadilan (Lihat Wahyu Wagiman, Contempt Of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005, Halaman 15 s.d. 16).
Tentu saja putusan pengadilan tidak akan dapat memuaskan semua pihak, karena terdapat pihak yang dikalahkan dan terdapat pihak yang dimenangkan sehingga suka tidak suka, terima tidak terima apapun yang telah diputus Pengadilan mesti dihormati. Bukan sebaliknya dengan mendelegetimasi lembaga peradilan melalui pemberitaan yang menyalahkan Hakim karena memutus perkara yang tidak sesuai dengan seleranya. Menjadi berbeda apabila pers hanya menyampaikan berita ansich tanpa menilai benar salahnya putusan, yang masih dalam ruang lingkup kemerdekaan pers dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itu demi menjunjung tinggi supremasi hukum dan mencegah masyarakat “menemukan keadilan dengan jalannya sendiri” sudah sepatutnya pers menahan diri untuk membuat pemberitaan yang mencampuri kemandirian peradilan. [IZ]
Lubuk Basung, 26 Agustus 2018
*Penulis adalah Mantan Direktur Eksekutif Street Lawyer Legal Aid. Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H. kini juga merupakan calon hakim pada Pengadilan Negeri Lubuk Basung.