JAKARTA (Panjimas.com) – Sultan Agung tercatat sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Saat ini Sutradara Hanung Bramantyo sedang mempersiapkan sebuah scene sinema biografi berjudul Sultan Agung. Film Sultan Agung ini merupakan proyek besar bos Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo.
Pemain utama Film ‘Sultan Agung: The Untold Love Story’, di antaranya Ario Bayu, Anindia Kusuma Putri (Putri Indonesia 2015 dan Best 15 Miss Universe 2015), Adinia Wirasti, Marthino Lio, dan Putri Marino.
Menurut lbu Mooryati Soedibyo, pembangunan sejumlah bangunan set Film Sultan Agung yang ditindaklanjuti dengan hibah kepada masyarakat Desa Gamplong merupakan wujud persembahan Mooryati Soedibyo Cinema kepada masyarakat Indonesia.
Adapun bangunan set Film Sultan Agung yang dihibahkan terdiri dari Pendopo Keraton Mataram, Songgo Mataram, Benteng VOC, Jembatan Ungkit, Kampung Mataram, dan Kampung Pecinan.Bangunan set film Sultan Agung mulai dibangun pada tahun 2017 dan selama ini telah menjadi lokasi pengambilan gambar untuk film sejarah tersebut.
“Melalui bangunan set Film Sultan Agung dan Film Sultan Agung yang akan diluncurkan ke khalayak luas dalam waktu dekat, kami ingin membawa pesan amanah pahlawan-pahlawan nasional negeri ini untuk mewariskan kekayaan budaya bangsa dan sejarah Indonesia kepada generasi masa kini,” ujar lbu Mooryati Soedibyo.
Pengambilan gambar dilakukan di sebuah desa wisata yang terletak di barat kota Yogyakarta yakni Gamplong. Untuk mencapai desa nan asri ini, diperlukan waktu kurang lebih 40-60 menit perjalanan darat dari kota Yogyakarta.
Film Sultan Agung bukanlah film biografi pertama garapan sutradara dari kota Gudeg ini. Hanung sudah menggarap banyak film biografi, diawali dengan film Sang Pencerah yang rilis pada tahun 2010. “Ini karya beliau setelah menjalani bisnis dan berpolitik. Mirip Sultan Agung, beliau (Mooeryati Soedibyo) sebelum akhir hayatnya ingin membuat karya,” jelas Hanung Bramantyo.
Film yang menceritakan tentang sosok pahlawan ini idenya sudah direncanakan oleh Mooryati Soedibyo tiga tahun lalu. Hanung mengaku, langsung menerima tawaran ibu Mooryati Soedibyo saat ia diajak menggarap film ini. Karena menceritakan kisah pahlawan yang sangat berpengaruh, Hanung mengaku sangat total mengerahkan tenaga untuk menggarap film ini.
Biaya yang dikeluarkan untuk menggarap film ini sangat fantastis. “Budget film ini sebenarnya Rp 15 M belum termasuk pajak, tambahan dari saya pribadi Rp 2,5 M,” jelas Hanung.
Pembangunan studio alam ini juga penuh totalitas. Studio yang super besar tersebut sengaja dibangun oleh Hanung Bramantyo dan kru dibantu langsung oleh warga padukuhan Gamplong. Kini sudah setengah tahun lamanya studio tersebut berdiri.
Gamplong dipilih sebagai tempat membangun studio ini karena dirasa paling layak. Sebelumnya Hanung telah melakukan riset tempat mendalam.”Pertama saya cari tempat di Bantul, Kaliurang, Gunung Kidul, semua tempat sudah saya cari. Nggak tau kenapa saat di sini lancar saja. Saya nyari ini dari awal tahun, Januari 2017,” jelas Hanung.
Hanung Bramantyo pun menggandeng desainer handal Allan Sebastian untuk merancang studio ini. Khusus bagian pendopo studio, dirancang oleh seorang warga desa Dlingo, Pak Nuri. Desa Dlingo sendiri merupakan desa yang kayunya dipakai membuat keraton dan pendopo pada masa silam.
Totalitas pembuatan film Sultan Agung tidak sampai di sini. Suami Zaskia Adya Mecca itu juga melakukan riset sejarah mendalam untuk memahami kisah hidup Sultan Agung.”Soal data sejarah kami melakukan data riset bahkan memadukan sejarawan dari Solo, Jogja dan independen. Dan saya melakukan diskusi baik dalam satu ruangan atau terpisah,” jelas Hanung.
Diprotes Putri Sultan
Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta pun sempat mendapat kritik. Tak tanggung-tanggung, kritik datang langsung dari Putri Kraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Putri bungsu Sultan Hamengkubuwono X tersebut melihat adanya kesalahan pada pakaian atau kain batik yang dipakai pemain di Sultan Agung.
Menurut GKR Bendara, apa yang dikenakan para pemain di Sultan Agung tidak sesuai dengan pakem yang berlaku di Kraton Yogyakarta. Pemilik nama asli Gusti Raden Ajeng Nur Astuti Wijareni menyampaikan kritikannya melalui Instagram sembari memberikan penjelasan yang seharusnya.
Kain batik yang digunakan Sultan Agung dianggap kurang tepat karena bermotif parang kecil. Mengenai kejadian ini, Hanung memberikan penjelasan. Menurut Hanung, Sultan Agung baru membuat batik parang setelah dinobatkan dan setelah melewati fase menjadi budayawan.
“Sultan Agung memang membuat parang, tapi adegan yang ada di foto kemarin saat beliau dinobatkan. Kalau menurut asumsi saya beliau membuat parang setelah fase berkebudayaan, artinya setelah perang Batavia,” jelas Hanung.
Seperti diketahui, Proyek film terbaru Hanung Bramantyo yang berjudul ‘Sultan Agung’ mendapatkan protes keras dari salah satu anggota keluarga Kraton Yogyakarta. Adalah Gusti Kanjeng Ratu Bendara yang merupakan putri bungsu dan anak kelima dari Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hemas mengungkapkan kekecewaannya terhadap film tersebut.
Ia menilai pakaian atau kain batik yang digunakan oleh pemeran Sultan Agung tidak sesuai dengan pakem yang berlaku di Kraton Yogyakarta. Hal tersebut diungkapkan oleh GKR Bendara melalui akun Instagram pribadinya, @gkrbendara.
“Aduuuh duh duh… hancur hati ku… yg memerankan Sultan Agung kok ya pake parang yg kecil dan warna nya biru pula… padahal yg membuat Parang Barong adalah Ibu beliau,” tulis GKR Bendara, Rabu (7/3).
GKR Bendara juga menyoroti kain batik yang dipakai oleh pemeran Abdi dalem di film tersebut yang malah mengenakan batik Parang berukuran besar. “Malah yg memerankan Abdi dalem di belakangnya yg pake Parang lbh besar. Iki piye iki piye jal. Check di FB kratonjogja aja ada loh referensinya. Baru minggu lalu sy bicara tentang Parang Barong di Pameran Taman Pintar. Sedih saya lihatnya,” lanjutnya sambil mengunggah foto batik yang seharusnya dipakai oleh Sultan Agung di slide berikutnya.
Namun Hanung dengan senang hati menerima berbagai kritik. Baginya hal tersebut dapat menjadi masukan agar ia bisa berkarya lebih baik lagi. Walau mendapat beberapa kritik, Hanung dan kru tetap melanjutkan proses pembuatan film.
Protes GKR Bendara terhadap film garapan Hanung Bramantyo yang melanggar pakem Kraton ini pun langsung menarik perhatian netizen. Banyak dari mereka yang akhirnya menyayangkan Hanung dan tim produksi terutama tim wardrobe yang tidak melakukan riset secara mendalam terkait penggunaan kain batik. (ass/dbs)