Oleh:Yons Achmad, Kolumnis| Founder Kanet Indonesia
DEPOK (Panjimas.com) – “Kalau kamu pingin cepet dapet proyek, merapat saja ke ormas itu”, kata seorang pemimpin redaksi salah satu stasiun televisi swasta, tentu dengan nada satir. Benar juga. Tak usah gabung dalam struktur, cukup organisasi sayap atau yang berbau ormas itu, pasti kecipratan proyek. Ini pembicaraan ringan dengannya yang sempat saya rekam dalam ingatan beberapa hari lalu. Menggiurkan memang, tapi menolak karena alasan ideologis, tentu lebih menarik.
Hari ini (10/7/18), saya baca koran Republika, ada berita judulnya “DMI Ragukan Survei 41 Masjid Terindikasi Radikal”. Berita itu muncul ketika Dewan Masjid Indonesia (DMI) merespon survei yang diadakan oleh LSM Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
LSM itu telah mensurvei 100 masjid, diantaranya 35 masjid kementerian, 28 masjid lembaga negara, 37 masjid di Bandan Usaha Milik Negara (BUMN). Survei dilakukan setiap shalat jumat pada 29 September sampai 21 Oktober 2017. Setelah dianalisis, hasilnya 41 masjid terindikasi radikal.
Dari 41 masjid yang terindikasi radikal itu kemudian dibagi menjadi 3 kategori. Hasilnya, terdapat 7 masjid radikal rendah, 17 masjid radikal sedang dan 17 masjid radikal tinggi. Dijelaskan bahwa yang dimaksud radikal rendah artinya terkandung sikap abu-abu jika ada yang bersikap negatif terhadap agama lain.
Sedangkan, radikal sedang artinya sudah mulai setuju dengan sikap negatif atau intoleran terhadap umat agama lain. Sementara, radikal tinggi artinya sudah mulai memprovokasi umat untuk bertindak negatif terhadap umat agama lain. Penelitian itu juga menilai dari 41 masjid tersebut ditemukan ujaran kebencian yang mencapai 60%. Kemudian sikap negatif terhadap agama lain 17%, berikutnya sikap positif terhadap khilafah 15%.
Bagi yang mentah-mentah menerima data itu, barangkali merasa tercengang dan was-was, bahkan bisa memunculkan sikap yang tendensius dan menilai kutbah-kutbah di masjid itu sangat berbahaya. Hanya saja, bagi mereka yang bersikap hati-hati, waras dalam berpikir, serta terus menyalakan akal sehat, maka semuanya itu sekadar mitos belaka. Bahkan Dewan Masjid sendiri meragukan temuan itu. Imam Addaruquthni menilai penelitian tersebut dilakukan dengan paradigma yang salah terkait dengan pemahaman radikalisme.
Atas penelitian yang sesat pikir dari awalnya ini, tentu saja kita perlu cerdas dalam membacanya. Memang, kegiatan ilmiah, penelitian menjadi bagian yang diperlukan untuk kemajuan umat. Namun, alih-alih berkontribusi memajukan, yang ada justru malah memberikan stigma buruk.
Lihat saja, istilah “Masjid radikal” saja sudah problematis, belum lagi melihat kategori radikalnya. Bayangkan, ketika misalnya seorang khotib (pengkutbah) memberikan wejangan untuk memilih pemimpin muslim dan menolak pemimpin non muslim (kafir), maka 100% kotbah itu dinilai radikal karena dinilai bersikap negatif terhadap umat agama lain. Sungguh, sebuah kekonyolan yang berlindung dibalik jubah penelitian.
Bayangkan pula, LSM ini melakukan penelitian misalnya di Masjid Jogokariyan, Jogjakarta. Sebuah masjid percontohan yang menjadi rujukan pengelolaan masjid di tanah air. Masjid ini tak sekadar bisa memakmurkan masjid dengan saldo ratusan juta rupiah (walau ini juga salah kaprah). Tapi, benar-benar bisa memakmurkan jamaah dengan saldo nol rupiah. Semua dana dialokasikan untuk kemakmuran jamaah.Tentu, LSM itu akan memasukkan masjid ini dalam golongan masjid radikal. Kenapa?
Saya pernah sepekan menginap di masjid Jogokariyan, bukan ingin menjadi “Intel Kotbah Jumat”, tapi penasaran dengan manajemen masjid ini mengelola jamaahnya. Di sana, kotbah pentingnya memilih pemimpin muslim yang kompeten itu biasa. Bahkan, dalam salah satu ceramah selepas subuh yang saya dengar, sang penceramah melakukan kritik keras atas apa yang disebut dengan “Islam Nusantara”. Jelas, “Intel-intel Kotbah” yang berlindung dibalik jubah penelitian itu bakal semangat berikan masjid ini masuk kategori masjid radikal.
Itu sebabnya, saya kira, kita harus waspada pada oknum-oknum, kelompok-kelompok yang hanya bisa menjadi duri dalam daging di tubuh umat. Sibuk “menjual agama” dengan proyek-proyek intoleransi, radikalisme, terorisme yang mengada-ada. Apa boleh buat, di era fitnah yang merajalela ini, sudah saatnya sekarang, benteng akal sehat harus terus kita nyalakan agar umat ini tetap tegak dalam kewarasan. []