Oleh: Maya A
Indonesia punya cerita. Tak hanya haurendah. Kini jajaran Kantor Imigrasi Kelas ll Tembagapura Timika Papua justru berhasil meringkus TKA ilegal China berupah wah. Tidak tanggung-tanggung, 7.000-8.000 Yuan atau setara dengan 14-15 juta adalah kisaran gaji yang mereka terima. Bahkan ada pula yang mengaku bergaji 40 juta per bulan. Lebih miris lagi, nyatanya para TKA tersebut bekerja di 4 lokasi tambang emas rakyat yang dieksploitasi oleh perusahaan swasta Pasific Minang Jaya. (CNN Indonesia, 25/6)
Sungguh, kurang kah derita dan duka yang rakyat terima selama ini? Dimana para pemangku kebijakan yang katanya berdiri atas nama rakyat? Tidakkah temuan semacam ini cukup menjadi bukti bahwa sila ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ belum mampu terelasiasi?
Pada dasarnya, fakta yang terkait TKA ini bukanlah fakta tunggal. Banyak sekali cacat yang perlu didetaili untuk kemudian dijadikan cambuk bahwa negara ini tidak bisa dibiarkan hanyut dalam permasalahan.
Sekalipun Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pernah menyampaikan bahwa jumlah TKA di Indonesia masih termasuk proporsional (CNN Indonesia 27/4), tetap saja hal itu tidak bisa dibenarkan mengingat kemampuan finansial mayoritas penduduk Indonesia masih memprihatinkan. Lapangan kerja yang tersedia, harusnya bisa dioptimalkan untuk menampung tuna karya bangsa sendiri. Bukan malah disukarelakan kepada tenaga asing, dan melumuri mereka dengan gaji berlimpah.
Tidak hanya dari segi ekonomi, pengaruh ideologi dan budaya adalah perkara yang tidak bisa dilepaskan dari membludaknya kapasitas TKA. Pun dengan ancaman kedaulatan suatu bangsa seperti yang pernah disampaikan Kepala Subdirektorat Lingkungan Kerja Direktorat Bela Negara Kementerian Pertahanan Kolonel Inf, Sudi Prihatin. (Tirto.id 2/8/16)
Segala bentuk penjajahan gaya baru seperti serbuan TKA ini tidak dibiarkan terjadi oleh Islam. Negara dengan fungsinya sebagai pengatur sekaligus pelindung akan menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai titik point dalam menetapkan kebijakan. Oleh karenanya, suplai TKA hanya dilakukan ketika negara memang belum memiliki SDM yang mumpuni untuk mengelola sumber daya yang tersedia. Keberadaan mereka pun hanya dibatasi pada tenaga ahli. Bukan pekerja kasar.
Disamping itu, negara juga mendorong individu untuk memiliki kompetensi dengan menyediakan lembaga pendidikan berkualitas. Ini bukan semata demi pencapaian materi, tapi lebih sebagai bentuk kesigapan dalam memakasimalkan potensi. Sehingga mampu menciptakan negara yang mandiri, yang tidak terus menerus bergantung pada asing.