oleh: Tony Rosyid*
Panjimas – Pilkada 2018 sudah selesai. Hasil quick count, calon-calon Jokowi di Jawa menang. Sesuai prediksi yang saya tulis sebelumnya. Tak satupun yang kalah. Kemenangan ini tak mengagetkan.
Berdasar quick count SMRC (dengan catatan jika akurat), Khofifah-Emil Dardak menumbangkan Gus Ipul-Puti 53,36%- 46,64%. Ganjar-Gus Yasin kalahkan Sudirman-Fauziyah 58,34%- 41,66%. Dan Ridwan Kamil-Uu menyingkirkan tiga penantangnya dengan memimpin perolehan suara 32,54%, disusul Sudrajat-Saikhu 29,53%, lalu Duo Dedy 25,72% dan TB. Hasanudin-Charliyan 12,2%
Yang menarik dan justru mengejutkan adalah hasil Pilgub Jabar dan Jateng. Pasangan Sudrajat-Saikhu nomor dua. Dapat suara 29,53% .Menempati posisi nomor dua. Dan pasangan Sudirman-Fauziyah dapat suara 41,66%.
Jauh di luar prediksi. Ketika kita buka survei, hasil kedua pasangan ini meleset. Jauh sekali melampaui margin eror. Di hampir semua survei, Sudrajat-Saikhu selalu berada di urutan ketiga dengan angka dibawah 20%. Ternyata 29,53%. Sudirman-Fauziyah juga sama, surveinya selalu dibawah 30%. Ternyata 41,66. Sepintas orang akan bilang “ngawur”. Mirip lagunya Iwan Fals ketika bernyanyi lagu “ngawuuuur”. Bagaimana menjelaskan ini?
Pertama, apakah lembaga-lembaga survei itu sengaja melakukannya? Karena pesanan pihak tertentu? Kalau iya, berarti lembaga- lembaga itu tak punya integritas. Pelacuran intelektual. Membohongi publik demi jualan dagang survei. Kalau toh ada, tentu tidak semua.
Kedua, apakah karena salah sampling? Random respondennnya keliru? Atau metodenya yang salah? Kalau ini yang terjadi, berarti gak kredibel.
Ketiga, atau ada perubahan pemilih injury time, pasca survei? Bisa juga variablenya tak terbaca dengan baik. Kalau ini masalahnya, berarti, variable apa yang mempengaruhinya?
Setidaknya ada empat variable untuk menjelaskan analisis ini. Pertama, variable tokoh.(analisis teori herois Thomas Charlyle). Sudirman Said-Ida Fauziyah tak populer. Jauh dari popularitas Ganjar. Asumsinya, ketokohan Sudirman-Fauziyah tak terlalu punya efek elektoral. Begitu juga ketokohan Sudrajat-Saikhu, kalah jauh dengan Ridwan Kamil, Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi. Bahkan kalah juga dengan Anton Charliyan.
Kedua, variable logistik. (Analisis teori pertukaran George Caspar Homans). Mudah menebaknya. Paslon dukungan istana dan juga PDIP (Ridwan Kamil-Uu, Ganjar-Taj Yasin), dan juga PDIP (TB. Hasanudin-Charliyan), jauh lebih siap logistiknya. Penguasa jauh lebih punya akses logistik dari pada mereka yang tak berkuasa. Berarti, variable logistik tak banyak berpengaruh ngangkat suara Sudirman Said dan Sudrajat.
Ketiga, kerja tim. (Teori sosial movement Marx). Ini jadi variable yang diyakini sejumlah pihak punya pengaruh. Mesin partai? Di Jawa Barat, mungkin iya. Karena PKS pernah memenangkan dua periode untuk Ahmad Heryawan. Di Jateng? Mesin PKS tak pernah punya bukti. Apalagi Gerindra dan PAN. PKB-NU? Hampir tak pernah solid dalam kerja politik. Tapi, kenapa suara Paslon Sudirman-Fauziyah besar? Ini mengejutkan.
Relawan umat yang menginginkan “ganti presiden” yang tidak bergabung di barisan Gus Yasin untuk Jateng (karena ikatan santri-kiyai), dan pasangan lain di Jabar, layak dijadikan variable untuk mengurai kesalahan berbagai survei. Diduga sangat berpengaruh. Mereka bekerja senyap, tanpa terkordinir dengan timses. Orang menyebutnya relawan militan. Mirip militansi relawan Jokowi di pilpres 2014.
Keempat, variable isu. (Teori Idea Max Weber). Ada isu personal Paslon, ada isu nasional. Isu e-KTP yang menimpa Ganjar ternyata tak punya banyak pengaruh. Begitu juga isu LGBT dan Syiah yang menerpa Ridwan Kamil tak terlalu nendang.
Maka, isu “ganti presiden” dan “tumbangkan banteng” perlu dijadikan bagian dari variable penting untuk menjelaskan efek kejut di Pilgub Jabar dan Jateng yang sepertinya kurang diperhatikan oleh survei.
Dua variable, yaitu militansi tim relawan (di luar mesin partai dan timses) dan gelombang isu (ganti presiden dan tumbangkan banteng) akan menjadi ancaman serius bagi Jokowi di pilpres 2019.
Analisis ini akan terkonfirmasi dengan hasil survei pilpres pasca pilkada. Apakah elektabilitas Jokowi naik, atau stag. Kalau stag, maka akan terkonfirmasi kebenarannya. Pertama, pilkada, meski paslon istana menang, tapi tidak berpengaruh signifikan buat elektabilitas Jokowi. Kedua, isu ganti presiden 2019 akan terus menguat. Ketiga, militansi tim-tim relawan yang berserakan dan tak tersadap oleh survei akan terus jadi ancaman ekektabilitas Jokowi di pilpres 2019.
Persoalannya hanya satu, siapa tokoh yang akan diusung untuk melawan Jokowi? Kalau calon itu lemah, maka Jokowi akan melenggang dua periode. Seperti nasib Ganjar dan Ridwan Kamil. Pilgub Jateng dan Jabar mesti jadi pelajaran. Koalisi partai oposisi bertanggung jawab atas kesalahan dan keteledorannya dalam memilih dan menentukan calon di Jateng dan Jabar. Segera insaf kalau tidak ingin mengulangi kekalahannya di pilpres 2019.
Tapi, jika calon lawan Jokowi di pilpres 2019 kuat, hampir pasti Jokowi akan tumbang. Sebab, variable isu ganti presiden, tumbangkan banteng, dan militansi para relawan akan terakomodir dan makin membesar jika punya tokoh yang kuat untuk dilawankan Jokowi. Dan tokoh itu yang pasti bukan Prabowo, Jusuf Kalla, apalagi Amin Rais. Mesti tokoh muda, rising star, antitesa Jokowi dan bisa memikat suara rakyat.
*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa