(Panjimas.com) – Islam dan politik adalah pasangan serasi yang diidamkan dapat bersanding oleh sebagian penduduk muslim negeri ini. Bagaimana tidak romantisme Islam dan politik praktis dibuktikan di acara 212 hingga silaturahminya yang berupaya mempersatukan barisan umat Islam agar memiliki satu kekuatan untuk mewarnai arah pandang politik di negeri ini.
Bermula dari 212 dan rentetan kejadian di negeri ini, ada semacam energi yang membangkitkan umat Islam. Umat islam mulai melek terhadap politik dan mulai peduli terhadap urusan negeri ini.
Kesadaran politik umat Islam yang terus membesar tentu merugikan kelompok tertentu sehingga banyak upaya yang dilakukan untuk segera meninabobokkan umat Islam kembali. Upaya ini dilakukan dengan cara halus maupun dengan jalan kekuasaan. Pengesahan Perppu Ormas misalnya, penguasa ingin membungkam kelompok yang kritis yang berupaya membangunkan kesadaran berpolitik umat Islam.
Sejalan dengan upaya membangun kesadaran politik umat Islam, baru baru ini Amien Rais berceramah di depan ustadzah di Balai Kota DKI Jakarta. Saat di atas panggung, Amien mengatakan pentingnya sebuah pengajian disisipi unsur politik. Pernyataan beliau sontak menuai respon dari berbagai pihak, mengingat ini adalah tahun politik dan di tengah situasi politik yang memanas.
Sekjen MUI Anwar Abbas misalnya, beliau menegaskan bahwa umat Islam tidak dilarang untuk berbicara politik di masjid. Ia mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menjadi petunjuk bagi manusia terhadap seluruh sisi kehidupan (kiblat.net-24/04/2018)
Beda dengan Sekjen MUI, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menanggapi ceramah Ketua Majelis Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais. Amien meminta pengajian di masjid disisipi unsur politik. Moeldoko justru menilai, sebaiknya masjid digunakan untuk menyampaikan syiar Islam.
“Harus dipisahkan di mana masjid itu sebagai tempat syiarnya hal-hal yang bagus. Jangan dikotori oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang,” kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (27/4/2018)Liputan6.com.
Telah jelas bagi kita bahwa bangkitnya Islam politik adalah ancaman terbesar bagi kelangsungan hegemoni kapitalis di negeri kaum muslimin. Maka wajar jika berbagai upaya mematikan kesadaran berpolitik umat Islam terus dilakukan. Serangan tajam pasti kan ditujukan baik kepada pribadi ataupun kelompok yang paling keras menyuarakan politik islam.
Menyikapi pro kontra terhadap bolehkah Masjid dalam syiarnya disusupi unsur politik? Maka sesungguhnya kita harus kembali kepada tuntunan Rosulullah SAW. Rosulullah senantiasa menjadikan Masjid sebagai sentral ibadah, mendidik pejuang pejuang Islam dan sebagai pusat aktivitas politik dan perjuangan umat islam.
Mesjid adalah tempat yang akan melahirkan pemimpin pemimpin hebat yang senantiasa takut kepada Allah. Masjid juga akan menjadi benteng pertahanan ketika umat mulai terpecah karena melalui corongnya umat Islam akan kembali bersatu. Islam tidak bisa dipisahkan dengan urusan politik, karena Islam adalah agama yang memiliki syariat yang sempurna yang mengatur segala urusan manusia termasuk politik. Tidak ada hak bagi siapapun untuk melarang mensyiarkan ajaran islam termasuk ajaran politik islam, termasuk rezim yang berkuasa.
Maka seharusnya masjid dikembalikan kepada fungsi yang seharusnya, bukan hanya sebagai tempat ibadah ritual semata. Namun, kembali menjadi tempat ibadah dan berpotilis yang stategis. Ini hanya bisa terjadi dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, karena hanyalah ilusi di alam demokrasi Islam mampu berdiri diterapkan secara sempurna. [RN]
Penulis, Ana Ummu Al Fatih
tinggal di Gresik