(Panjimas.com) – Tiga pekan sudah Ujian Nasional SMA telah berlangsung namun polemik kesulitan menjawab soal masih dirasa oleh para siswa SMA hingga siswa SMP yang sepekan ini telah melaksanakan Ujian Nasional. Pasalnya ujian nasional SMA yang lalu diterapkan soal HOTS (high order thinking skills), apa HOTS itu? Pertanyaan ini mungkin akan muncul dibenak kita lalu kita sendiri akan bertanya-tanya sesulit apakah soal UN berbasis HOTS?
HOTS merupakan soal soal yang diterapkan di bawah Program for International Student Assessment (PISA), dimana mengajak para siswa untuk dapat menganalisis dan memecahkan soal dengan menggunakan penalaran. Hal ini lah yang dikeluhkan oleh para siswa ketika mengerjakan soal UN, sebab HOTS belum pernah diajarkan disekolah mereka. Kemdibud beralasan menerapkan kebijakan ini di ujian nasional dikarnakan standar HOTS telah dilakukan di negara maju sehingga negeri kita pun juga haruslah sepadan dengan mereka.
Kebijakan Kemdikbud yang dirasa sepihak ini banyak dikritisi oleh berbagai pihak. Salah satunya dari komisi pendidik anak indonesia (KPAI) mengkritisi bahwa soal UN berbasis HOTS ini merupakan malpraktek pendidikan yang dapat merugikan para siswa dan menghambat kualitas pendidikan. Menurut komisioner KPAI Retno Listyarti, untuk meningkatkan kualitas pendidikan seharusnya pemerintah memenuhi kuantitas dan kualitas pendidik, serta meratakan fasilitas pendidikan di seluruh Indonesia bukan menaikan tingkat kesulitan soal UN.
Pendidikan yang semestinya
Pendidikan indonesia kian hari kian tak membekas bagi para siswanya. Setiap tahunnya ada saja uji percobaan bagi para siswa UN, Alasannya untuk membenahi pendidikan negeri ini. Faktanya para siswa hari ini hanya menjadikan ajang UN sebagai standar mereka agar lulus dan sekedar mendapat ijazah. Jumlah nilai selalu diperhitungkan oleh siswa ketika mereka telah ujian, “kira-kira nilai ku jelek tidak ya?” gumam mereka.
Jauhnya agama dari kehidupan pendidikan sekan membuat mereka semakin cerdas memutar otak untuk curang. Semakin jelas bahwa materi sekan yang dicari dan dihasikan oleh pendidikan sekuler cetakan sistem kapitalis. Disisi pemerintah pun tidak memberikan fasilitas yang memadai bagi siswa malah semakin dipersulit dengan kebijakan-kebijakan yang tidak tepat. Alih-alih ingin mencerdaskan anak bangsa justru semakin menjadikan anak bangsa bobrok dan tak paham arti pendidikan sesungguhnya.
Pendidikan yang semestinya didapat ialah pendidikan yang menanamkan bagi para siswanya bahwa mengkaji ilmu merupakan kewajiban bagi seseorang terutama bagi seorang muslim. Sehingga orientasi mereka belajar bukan hanya sekedar materi dan pekerjaan bergengsi jika mereka telah menempuh pendidikan tinggi. Selain itu negara wajib memfasilitasi pendidikan dengan harga yang murah, mudahnya untuk mengakses ilmu, pemberian fasilitas perpustakaan serta perngembangan riset bagi para siswa. Jadi jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan indonesia bukan dengan cara meningkatkan kesulitan soal UN namun dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan serta menfasilitasi pendidikan seperti yang disampaikan oleh komisioner KPAI, Retno Listyarti. Lalu kita akan bertanya biaya dari mana untuk memberikan fasilitas gratis tersebut?
Jika kita membahas sistem pendidikan maka ia tak lepas dari sistem ekonomi yang diterapkan. Pendidikan gratis tak mungkin dihasilkan oleh sistem kapitalis yang orientasinya ialah pasar. Sedangkan sistem islam ketika diterapkan orientasinya ialah bahwa pendidikan merupakan kewajiban seorang muslim baik laki-laki dan perempuan. Seorang muslim menuntut ilmu semata-mata hanya inginkan ridho Allah semata dan kebaikan bagi umat islam jika ilmu tersebut diterapkan dalam kehidupan. Sistem pendidikan islam atau pun ekonominya tak kan bisa jika hanya diterapkan sebagian saja ia butuh penerapan secara keseluruhan dalam penerapan lembaga institusi yang akan membawa para intelektualnya cerdas serta bertakwa kepada Penciptanya. WaAllahu’alam. [RN]
Penulis, Rina Fauziah
Mahasiswa Brawijaya, Tim Penulis “Pena Langit”