(Panjimas.com) – Indonesia. Kini tak hanya digelimangi SDA yang tumpah ruah, tapi juga pengangguran yang nasibnya makin tak berarah. Bahkan gelar sarjana pun tak menjadikan pekerjaan bisa didapat dengan mudah. Janji masa lalu untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja nyatanya belum jua berbuah. Dan kini, teken Perpres no 20 tahun 2018 tentang penggunaan TKA malah membuat keadaan semakin parah.
Siapa yang tak terluka, berdalih demi meningkatkan investasi dan perbaikan ekonomi nasional, kebijakan ini pun akhirnya diambil. Kemudahan kemudahan yang diinstruksikan untuk diberikan kepada TKA seperti RPTKA (Rencana Pengajuan Tenaga Kerja Asing), Ijin Penempatan Tenaga Asing, dan juga Vitas terasa begitu menohok. Ini seperti membuka luka lama ketika tahun 2015 silam, dibawah penguasa yang sama, penguasaan bahasa Indonesia dihapuskan begitu saja dari syarat masuknya tenaga asing. Padahal, Agustus 2017 kemarin BPS (Badan Pusat Statistik) merilis bahwa pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan 10.000 menjadi 7,04 juta dari sebelum nya 7,03 juta.
Sungguh, orang buta pun mungkin tau bahkan merasai sendiri bagaimana peliknya problematika yang menjerat negeri ini. Terlebih di bidang ekonomi. Kenaikan harga kebutuhan, TDL listrik, dicabutnya beragam subsidi, mahalnya biaya pendidikan kesehatan berhasil membuat rakyat melarat makin sekarat. Sayang, bukannya turut prihatin dan bertanggung jawab, Perpres justru memperlihatkan secara nyata ketidakberpihakan penguasa terhadap hak rakyat.
Bermain logika sederhana saja, berapa banyak WNI yang terpaksa mencari penghidupan di tanah seberang lantaran keluhannya tak kunjung berujung solusi? Mengais pekerjaan sudah seperti pengemis di negeri sendiri. Demikian sulitnya hingga tak jarang pekerjaan haram pun dilakoni karena frustasi. Sementara disisi lain, sederet kalimat penuh perhatian dari pemangku kekuasaan terlontar dengan manisnya menanggapi keluh kesah terkait sulitnya akses masuk TKA.
“Saya minta agar proses perizinannya tidak berbelit-belit ini penting sekali karena laporan yang saya terima perizinannya berbelit-belit,”
Pengesahan Perpres ini harusnya tidak serta merta memandang meningkatnya investasi sebagai harga mati, tapi juga harus mempertimbangkann kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat. Di Sulawesi Tenggara saja misalnya, 1:3 adalah perbandingan pekerja Indonesia dan Tiongkok yang bekerja di proyek smelter nikel PT Virtue Dragon Nickel Industri. Imbalan yang diterima pekerja asing pun jauh lebih besar meski level nya sama. Dikutip dari Jawa Pos edisi Januari 2017, TKA bisa dibayar 400 ribu per hari sementara pekerja lokal hanya 90 ribu. Ketimpangan hak seperti ini harusnya menjadi kekhawatiran tersendiri mengingat efeknya dapat memunculkan gap sosial, friksi budaya, serta ketidak stabilan ekonomi bahkan politik.
Lapangan pekerjaan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat. Dan kesejahteraan, termasuk didalamnya memperoleh harta secara halal adalah dampak berkesinambungan tersedianya lapangan pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu, melalui tangan penguasa, Islam memerintahkan mereka untuk senantiasa memenuhi hak sekaligus berperan sebagai perisai/pelindung rakyatnya. Negara tidak diperkenankan ambil bagian dalam membuka kran penghantar ancaman. Sehingga, opsi mempermudah masuknya TKA tetap tidak bisa dibenarkan mengingat kompleksnya dampak yang ditimbulkan. Meski begitu jaminan kesejahteraan tetap bisa diberikan melalui jaminan keleluasaan bekerja. Pengembangan usaha juga akan disuasanakan kondusif, dengan memberikan pelatihan serta kemudahan dalam mendapatkan modal. Yang lebih menarik, konsep islam tidak menjadikan baitul mal sebagai satu satunya penyuplai modal, namun juga perseorangan yang sekiranya memiliki kelebihan uang. Pemahaman individu muslim terkait larangan menimbun serta meribakan harta akan mendorong mereka untuk gencar berinvestasi ke sektor usaha riil. Sehingga, dengan sendirinya sektor pengembangan usaha ekonomi non riil seperti bursa saham bisa dihentikan.
Disamping itu, negara juga memiliki kewajiban memutus tali investasi asing yang berpotensi mengusik hak hak rakyat. Penerapan sistem ekonomi Islam secara benar dan konsisten memungkinkan negara berkemampuan menutup kebutuhan investasi dengan kekayaan yang dimilikinya. Kemandirian semacam ini tentu akan membuat negara benar benar berdaulat dalam menetapkan kebijakan pro rakyat tanpa khawatir adanya tekanan.
Lalu, masihkah kita pantas untuk ragu terhadap Power of Islam?
Penulis, Maya A,
Tinggal di Gresik