(Panjimas.com) – Puisi memanglah sastra yang indah. Rimanya yang berirama mampu ciptakan merdu di telinga. Tapi sayang, keindahan itu tak lagi benar benar indah. Merdunya tak lagi benar benar merdu ketika yang tersampaikan justru untaian yang membelenggu tanpa ilmu.
Adalah ‘Ibu Indonesia’, buah pikiran Sukmawati yang dilantunkan di acara Indonesia Fashion Week ’29 tahun Anne Avantie berkarya’ di Jakarta. Adalah ‘Ibu Indonesia’, buah pikiran yang akhirnya berbuntut pada kecaman. Adalah ‘Ibu Indonesia’, buah pikiran yang bangga sampaikan tak paham syariat, tapi bicara tanpa akal sehat.
Sari konde lebih cantik dari cadar, suara kidung lebih merdu dari adzan.
Sungguh, adakah dagelan yang lebih lucu dari ini? Oh mungkin ada, jika dagelan semacam ini justru dilindungi atas nama luapan ekspresi dan seni. Dan bukan suatu kemustahilan akan terjadi mengingat hukum Indonesia seringkali digaungkan tidak konsisten. Alias masih seperti karet. Bisa ditarik ulur sesuai keinginan orang orang yang berkepentingan. Bisa ditarik ulur bergantung jabatan pelaku pelanggaran. Celakanya, banyak rakyat kecil yang diciderai akibat diterapkannya hukum yang seperti ini.
Ini bukan sekedar bualan semata, tapi sesuatu yang sudah nyata adanya. Lihat saja alotnya kasus Ahok terdahulu. Sudah jelas salah, tapi dalam perpolitikan calon gubernur ia masih bisa tetap berkiprah. Kasus Victor Laiskodat pun berakhir sama. Tak berkelanjutan alias mandek berkat hak imunitas nya sebagai anggota DPR (detikNews 21/11/17).
Dan sekarang? Sungguh jangan berharap ‘ibu Indonesia’ akan memiliki ending yang berbeda.
Patut dimaklumi, memang beginilah resiko dari demokrasi. Benar benar berpotensi besar dalam membuka jalan penistaan secara berulang. Akarnya tentu saja dari paham sekuler yang akhirnya memunculkan liberalisme. Tidak adanya keterlibatan agama dalam kehidupan selain sebagai pengatur perkara ibadah sudah pasti akan menjadikan manusia semakin bertindak bebas. Dalam hal apapun. Inilah yang membuat mereka tidak sempat berpikir apakah ucapan, tindakan dan buah karyanya menyalahi aturan agama atau tidak.
Resiko lain dari demokrasi yang pasti ditemui ialah lemahnya hukum yang seringkali tidak menimbulkan efek jera. Bahkan suatu waktu hukum bisa terbeli oleh uang. Cacat yang seperti inilah yang membuat manusia yang telah tercokol virus sekulerisme semakin berani melakukan penghinaan. Hingga aspek tersakral pun berani mereka terabas begitu saja.
Hal berbeda akan ditemui ketika sekulerisme beserta turunan nya bisa terberantas habis dan benih benih ajaran Islam kembali dipahamkan kepada umat. Pemahaman inilah yang nantinya membuat perilaku dan cara pandang umat akan kehidupan terasa berbeda. Lebih tertata sekaligus terarah. Mereka tidak segan untuk berpikir dua kali ketika nafsu ingin menghantarkan mereka pada perkara tercela. Akal akan lebih bermain dominan disini, dengan hidrak sillah Billah (kesadaran akan hubungan nya dengan Allah) sebagai pengendalinya.
Disamping itu, konsep Islam ketika memberikan sanksi atas tindakan penistaan agama tidaklah main main. Perbuatan tersebut bahkan dinilai sebagai ajakan berperang. Jika ia seorang muslim, maka ia telah dihukumi murtad dan halal darahnya untuk dibunuh bila menolak bertaubat. Sanksi serupa juga berlaku bagi non muslim.
Ketegasan Islam dalam memandang dan menghukumi kasus penistaan ini bertujuan untuk menghentikan segala bentuk fitnah yang ia timbulkan sekaligus sebagai pelajaran bagi siapa saja yang ingin melakukan kejahatan yang serup. Jauh berbeda bukan dengan KUHP yang hanya mampu menjerat pelaku penistaan 5 tahun? Itupun masih bisa dilobi lagi ketika tersangka mengajukan banding.
Jadi, masihkah berani menggantungkan harapan baik pada sistem buruk buatan manusia ini?
Penulis, Maya A
Tinggal di Gresik