(Panjimas.com) – Seperti gunung, tingginya yang menjulang seakan tengah menantang langit. Sama persis dengan hutang Indonesia saat ini yang terus saja merangkak seolah menantang suatu kehancuran. Bagaimana tidak, akhir Januari ini saja hutang luar negeri sudah mencapai 357,5 M dolar atau jika dirupiahkan akan tembus di angka 5107,14 T. Berdasar catatan tersebut, disampaikan oleh Deputi Direktur Departemen Statistik BI Tutuk Cahyono bahwa pertumbuhannya tetap terkendali, yakni sebesar 10,3%. Bahkan dikatakan sehat jika menilik 85,9% nya merupakan hutang jangka panjang (merdeka.com 15/3).
Tapi benarkah hutang Indonesia berada di level sehat sementara 2017 lalu, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy mengatakan bahwa Bank Dunia telah menempatkan Indonesia di level bahaya lantaran fluktuasi nya sudah di atas 30%?
Di negara-negara berkembang, berbagai pembangunan memang gencar dilakukan guna menunjang, memperbaiki sekaligus mengejar ketertinggalan sektor ekonomi. Sayangnya upaya tersebut seringkali bentrok dengan sumber daya modal yang terbatas. Entah bentrok itu dikarenakan pengelolaan keuangan dan kepemilikan yang kurang bijak, atau memang benar benar tidak ada dana, tapi yang pasti, hutang luar negeri selalu dijadikan andalan sekaligus sandaran hingga akhirnya berujung pada ketergantungan.
Fakta-fakta tersebut sudah terjadi di Indonesia. Gemah ripah loh jinawi nya negeri berpenduduk 262 juta jiwa ini nyatanya tetap tidak mampu mengatasi persoalan perekonomian yang kian memprihatinkan. Suplai deretan nominal yang fantastis, yang secara logika sederhana mustinya berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam negri nyatanya tetap tidak mampu terwujud. Kemiskinan tak kunjung berhasil terentas, pengangguran masih meroket, dan kesenjangan yang makin kentara hanyalah secuil derita yang kini dilakoni langsung oleh rakyat jelata. Belum lagi genjotan pajak sekaligus denda yang terus dibebankan pada mereka sementara disaat yang sama, pengusaha besar yang meleng pajak diberi pengampunan melalui tax amnesti demi peroleh pemasukan. Seolah belum cukup, Menteri Keuangan, 2017 lalu sempat mengatakan bahwa 13 juta adalah besarnya hutang yang menjadi tanggungan per individu rakyat. Rupiah yang menurutnya tidak terlalu membebani mengingat mayoritas masyarakat Indonesia masih produktif. (detikFinance 17/4/17)
Sudah menjadi kebiasaan, IMF dan ADB selalu dijadikan instrumen penyelamat tiap kali APBN mengalami defisit. Bahkan, hutang adalah pemasok APBN terbesar kedua setelah pajak. Tidak ada kekhawatiran atau bahkan ketakutan bagaimana nasib negeri ini kedepan jika terus menerus menggantungkan hidupnya dari pinjaman. Apalagi di jaman kapitalis seperti sekarang ini, ketika untung besar dijadikan progress kehidupan, mustahil negara negara pemasok hutang tidak mengambil dan memanfaatkan celah tersebut. Bahkan dengan senang hati dana akan digelontorkan mengingat besarnya bunga dan kesempatan melakukan hegemoni ke calon negara jajahan. Hal ini sudah pernah menimpa Mesir dan Tunisia. Dimana keduanya terjajah oleh Inggris Perancis lewat jalur tersebut.
Merupakan kebohongan besar, jika donor uang sebegitu besarnya dilakukan atas nama kemanusiaan dan bantuan belaka. Selalu ada prasyarat yang musti di acc lebih dulu oleh si peminjam. Reformasi ekonomi seperti: penghapusan campur tangan pemerintah, penyerahan ekonomi Indonesia ke swasta, liberalisasi kegiatan ekspor impor, serta penguasaan hutan dan perkebunan adalah segelintir sub yang ingin mereka incar. Yang lebih berbahaya adalah ketika tawar menawar draft UU terjadi, yang dengan itu asing bisa lebih leluasa dalam mengendalikan negara yang diduduki. Ini baru aspek ekonomi, belum termasuk pemaksaan atas kebijakan politik. Dan perlu diingat, bahwasanya hutang tidak mungkin diberikan secara cuma-cuma sebelum jelas kapasitas dan kapabilitas suatu negara dalam mengembalikannya. Maka dengan dalih bantuan konsultan ekonomi, negara pendonor akan mengirimkan pakar ekonom untuk mengintai kekuatan sekaligus kelemahan negara yang bersangkutan. Jadilah rahasia tersebut sebagai konsumsi publik (negara lain) yang dikemudian hari akan dimanfaatkan dalam pengajuan syarat hutang selanjutnya. Sehingga apabila perilaku konsumtif tersebut diteruskan atau kemungkinan lain tidak ada keseriusan dalam upaya pelunasan, maka sudah pasti negara tersebut akan kehilangan kedaulatan di negaranya sendiri. Pembangunan pun menjadi tidak lagi terarahkan demi kesejahteraan mengingat kuasa pemegang kendali sudah diambil alih.
Dalam perspektif Islam, sejatinya aktivitas hutang menghutangi adalah sesuatu yang diperbolehkan. Namun tetap dengan catatan tidak terselip bunga didalamnya. Sayangnya, hal tersebut sulit terwujud di tengah-tengah gaya hidup kapitalis sekarang ini. Terlebih dalam konteks bernegara, dimana kemungkinan hutang selalu dilakukan dalam jumlah besar. Untuk Indonesia sendiri, hutang bisa saja dihindari apabila konsep pengelolaan ekonomi dan kepemilikan disesuaikan dengan konsep Islam. Pemanfaatan SDA secara totalitas oleh negara tanpa campur tangan asing/swasta dipastikan dapat membongkar kesalahan doktrin ekonom neolib bahwa Indonesia tidak bisa melakukan pembangunan tanpa hutang. Lihat saja kekayaan emas, tambang gas alam dan mineral yang dimiliki. Semua itu melimpah ruah. Terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jangankan berhutang untuk menutup defisit APBN, bahkan pajak pun bisa jadi terhenti pemungutannya.
Terkait pembangunan, maka perlu dilakukan pengkajian secara mendalam lebih dulu oleh pakar masing-masing tentang urgensitas infrastruktur di tengah-tengah masyarakat. Jika penundaannya bisa menimbulkan dharar (bahaya), maka ada atau tidak adanya APBN, pembangunan harus tetap dilaksanakan dengan pemungutan pajak. Hanya saja, dalam kacamata Islam subjek pajak tidak dipukul rata. Kewajiban dibebankan sebatas bagi golongan yang mampu. Sifatnya pun tidak permanen/terus menerus, namun temporer sesuai kebutuhan hingga kas negara terpenuhi.
Adapun untuk infrastruktur yang tidak begitu mendesak, maka pengadaannya hanya boleh dilakukan ketika APBN mencukupi. Pemaksaan pembangunan melalui hutang dan pajak adalah sesuatu yang tidak diperkenankan.
Dari sini jelas, bahwa Islam tidak hanya mengatur arus dana yang masuk untuk APBN, namun juga bagaimana APBN bisa dikelola sebaik mungkin demi mencegah pembangunan unfaedah secara gila- gilaan. [RN]
Penulis, Maya. A
tinggal di Gresik