(Panjimas.com) – Nasib tenaga kerja Indonesia kembali berakhir di ujung pedang. Zaini Misrin, TKI asal Bangkalan Madura, telah diekskusi mati oleh pemerintah arab Saudi pada hari minggu 18 maret 2018. Hal itu terkait dengan kasus yang menjerat terpidana sejak tahun 2004 lalu. Zaini Misri, terbukti telah membunuh majikannya (detiknews.com, 19/3/2018).
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menegaskan, bahwa pihaknya bersama Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI akan terus berupaya untuk melindungi seluruh tenaga kerja Indonesia ( TKI) yang terancam hukuman mati, khususnya yang ada di Arab Saudi. Hanif pun memaparkan data yang ia peroleh dari Kementerian Luar Negeri. Ia mengungkapkan bahwa pada periode 2011-2018 terdapat 102 TKI divonis hukuman mati. Dan kasus Zaini Misri inipun sudah diupayakan untuk advokasi dan pendampingan hukum menggunakan semua jalur sejak tahun 2008 sampai dengan 2018 ini. (Kompas.com, 20/3/2018).
Sangat dipahami jika keluarga terpidana merasa terpukul dan kehilangan, ketika tiba-tiba ada kabar bahwa anggota keluarga mereka meninggal di negeri orang karena hukuman. Karena sejak awal para TKI ini berangkat ke luar negeri hanya untuk mencari sesuap nasi. Yang aneh, justru tindakan negara terhadap kejadian ini.
Meski Menteri Ketenagakerjaan menyatakan ikut berduka, dan telah melakukan berbagai upaya advokasi maupun pendampingan hukum, Migrant Care menilai pemerintah selalu reaktif, tidak preventif dalam melindungi tenaga kerja Indonesia.
Kalau mau jujur, para buruh migran ini lebih memilih bekerja luar negeri karena tidak ada pekerjaan yang lebih baik di dalam negeri. Kebanyakan mereka yang merantau itu sangat miskin pengetahuan dan keahlian. Berbekal kemampuan apa adanya, menjadi tenaga buruh lah pilihannya. Seperti Zaini Misri, dia bertaruh mati hanya untuk mendapat gaji sebagai sopir.
Kemiskinan menjadi faktor utama. Bekerja di luar negeri bukanlah kebanggaan, tapi sebuah keterpaksaan. Tak heran sebagian mereka pun nekad, sampai menempuh jalur ilegal untuk mencapai negara tujuan. Di luar negeri pun mereka berani mengambil risiko, termasuk risiko hukum, baik yang ringan hingga yang terberat—hukuman mati. Inilah ironi negeri Indonesia. Negara kaya sumber daya alam tapi penduduknya miskin. Negara lebih suka ‘mengekspor’ tenaga kerja untuk mendapatkan devisa daripada mengelola sumber daya alam secara mandiri bagi kesejahtera¬an seluruh rakyat.
Dengan begitu banyaknya resiko yang diambil oleh buruh migran, sesungguhnya mereka tidak pernah diuntungkan. Para ‘penjual’ tenaga kerja lah yang mendapat keuntungan, juga negara atas nama devisa. Bahkan, beberapa kalangan menyebut telah ada praktik trafficking —perdagangan manusia—terselubung dalam praktek pengiriman TKI ke luar negeri, meski tidak semuanya.
Begitu kaus Zaini masuk ke media, berbagai komentar pro dan kotra. Tanpa melihat proses hukum itu sendiri berlangsung, sebagian langsung menyatakan bahwa hukum pancung itu amat biadab dan kejam.
Para pegiat HAM mengecam. Mereka menilai, manusia tidak berhak mencabut nyawa seseorang karena itu hak sepenuhnya Tuhan. Sebagian masyarakat pun menilai hukum pancung di Saudi itu sadis dan tidak berperikemanusiaan. Seakan mereka lupa, bahwa para terpidana telah melakukan perbuatan mencabut nyawa orang. Maka, suatu yang adil pula jika terpidana tersebut menerima ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya.
Mengenai layak tidaknya manusia yang melakukan, jawabannya manusia bisa melakukannya, karena Allah telah mendelegasikan kepadanya. Hanya saja standar yang dipakai haruslah standar Allah, yang dalam Islam disebut sebagai hukum syara. Qishash sendiri maknanya adalah hukuman yang setimpal. Orang yang memukul, maka qishas-nya ya dipukul. Orang membunuh, qishas-nya ya dibunuh. Bukankah ini sangat adil?
Dalam khasanah hukum Islam, hukuman itu memiliki dua hikmah/fungsi, yakni jawabir, artinya hukuman itu dapat menjadi penebus dosa di akhirat. Hikmah kedua berupa zawajir, maksudnya hukuman itu bisa menimbulkan efek jera di masyarakat, sehingga orang lain tidak mengulangi tindakan tersebut.
Maka orang yang telah di qishas, insya Allah dosa atas perbuatannya itu terhapus. Ia tidak akan disiksa atas perbuatan yang telah dilakukannya itu ketika nanti di akhirat karena telah di-tebus. Dalam kasus Zaini, mudah-mudahan hukuman itu menghapus dosanya karena membunuh majikannya.
Soal pancung itu sendiri yang dianggap kejam, penelitian membuktikan bahwa pemancungan adalah cara kematian yang paling cepat di antara cara kematian lain yang ada di dunia. (infounik1001.blogspot.com).
Namun demikian, hukuman mati adalah hak negara, bukan individu maupun kelompok. Negara yang dimaksud pun adalah negara yang berdasarkan syariah Islam yakni khilafah. Sementara hukuman itu sendiri jatuh setelah melalui proses pengadilan yang syar’i. Wallhu a’lam bi ash showab.[RN]
Penulis, Ririn Umi Hanif
Pemerhati Ibu dan Anak, Gresik