(Panjimas.com) – Apa jadinya jika generasi hari ini hidup, namun untuk mati? Ya, pada hari ini calon generasi masa depan kita sekarang sedang dirongrong oleh penyakit ‘antri stres dengan mati’. Mereka yang merasa tak sanggup dengan beban hidup ataupun pikiran rumit dalam benak, akan sangat mudah untuk mengambil jalan mengakhiri hidup. Mereka, para calon generasi ini berpikir amat dangkal, bahwasanya semua masalah yang terjadi dalam hidup akan terselesaikan hanya dengan satu aksi, yakni bunuh diri.
Cobalah lihat berita beberapa hari ini, mungkin kita masih disuguhkan dengan berita-berita yang sebenarnya sudah tak baru lagi. Kasus bunuh diri dua pelajar asal Kediri dan Gowa yang masih menghiasi kolom-kolom berita media cetak maupun media online. Sungguh miris, kedua pelajar tersebut masih sangat belia, masih sangat muda, masih terhitung berumur enam belas tahun ketika melakukan aksi nekat itu. Tentu ini bukan kali pertama kasus serupa menimpa generasi kita, sudah banyak kasus bunuh diri bahkan dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari meneguk racun serangga, memotong urat nadi, terjun dari lantai atas gedung, sampai pada langkah gantung diri. Rupanya, kasus ini sudah seperti gunung yang semakin hari terus bertambah tingginya.
Tentu ini adalah sebuah masalah, masalah yang mengancam generasi muda kita yang merupakan calon penerus bangsa nantinya. Apa jadinya sebuah bangsa jika para generasinya memiliki pola pikir demikian, pola pikir yang seharusnya tidak ada bahkan dalam benak sekalipun. Jika keadaan ini terus dibiarkan tanpa ada penyelesaian yang konkrit dan mendasar, akan mengakibatkan kasus serupa terus merebak dan bisa jadi menjadi ancaman baru bagi Indonesia yaitu kepunahan generasi. Ancaman ini bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi, bahkan sangat mungkin terjadi mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk usia produktif yang sangat tinggi. Bisa diabayangkan, apabila semua generasi memiliki pola pikir yang sama seperti di atas, kemudian ditambah dengan sejumlah masalah yang semakin pelik setiap harinya, tentu ancaman di atas bukan sebuah kemustahilan.
Apa sebenarnya yang sedang menimpa generasi muda hari ini?
Jika kita melihat jauh lebih dalam, ternyata apa yang menimpa generasi hari ini tak bisa dipishakan dari lingkungan dan kondisi yang mengapit mereka. Lingkungan dan kondisi sangatlah berpengaruh terhadap pola pikir seseorang, mereka akan cenderung untuk mengikuti apa-apa yang sering mereka lihat dan dengar untuk kemudian diterapkan dalam hidup mereka. Namun sayang, kondisi dan lingkungan hari ini belum bisa dikatakan baik bagi para pemuda.Mereka seolah-olah dibentuk oleh keadaan dan sistem sekarang untuk hanya berorientasi pada kebahagiaan materi dan jasadiah semata. Sehingga mereka dalam setiap aktifitas yang dilakukan tidak lain dalam rangka pemenuhan orientasi tersebut, dan akan menimbulkan sebuah masalah apabila pemenuhan orientasi tadi tidak tercapai. Keadaan ini diperburuk dengan jauhnya mereka dari agama, sekulerisasi yang hanya menempatkan agama pada ranah privat saja.
Maka sungguh wajar, jika melihat generasi muda sekarang yang mereka dikelilingi oleh keinginan dan orientasi duniawi, akan sangat mudah untuk mereka dihancurkan. Melalui Food, Fun, Fashion, dan Film (4F), pemikiran mereka dipengaruhi dan diarahkan pada kesenangan yang hanya bersifat duniawi. Kesedihan dipandang apabila tidak mampu memenuhi keempat hal ini. Dan apabila sudah tak mampu dicapai, pilihan mengakhiri hidup pun adalah suatu yang tidak dielakkan lagi. Seperti pada kasus bunuh diri di atas, salah satu korban melakukan aksi nekat tersebut hanya karena handphone yang sering ia gunakan diambil paksa oleh sang Ibu. Tak terima HP-nya diambil dan dijual, akhirnya ia memilih untuk membunuh diri sebagai sebuah protes atas “kesenangan” yang telah diambil paksa. Dan ini adalah realita yang sekarang sedang terjadi di tengah-tengah generasi kita.
Apa yang semestinya dilakukan sekarang?
Tentu tak bisa jika hanya menyalahkan korban yang telah tiada, atau hanya menyalahkan pada tingkat individu saja. Keadaan ini sekali lagi adalah bentukan sistem yang jauh dari peran agama, sehingga menjadikan orag-orang yang berada di dalamnya hanya berorietasi pada perkara yang bersifat duniawi semata. Maka, apa yang harus dilakukan untuk merubah keadaan generasi muda hari ini? Jawabannya adalah mengembalikan mereka pada orientasi yang sesungguhnya, yaitu orientasi yang tidak hanya bersifat materialistis dan duniawi, tetapi orientasi yang lebih luhur yakni kebahagiaan hakiki dengan mencapai ridha ilahi. Siapa yang akan melakukannya? Jelas tugas ini tidak diserahkan kepada individu atau hanya pada keluarga semata, melaikan seluruh elemen yang ada dalam negara. Ini adalah tugas kolektif yang yang dilakukan bersama-sama, mulai dari individu yang disadarkan akan orientasi kebahagiaannya, keluarga dan masyarakat yang turut mengingatkan, serta negara yang menerapkan aturan serta sistem yang mampu mengontrol mereka pada jalur yang sesuai dengan orientasi bersama. Jika sudah semua elemen ini sadar akan peran masing-masing, maka ancaman generasi dari kepunahan bisa untuk dihindari.
Kesemua solusi dan pemecahan masalah di atas ternyata telah ada dalam Islam. Islam adalah agama yang sempurna mengatur setiap aspek kehidupan. Dalam Islam, generasi muda memiliki posisi yang sangat penting sehingga keberadaan mereka sangat diperhatikan. Tidak akan dibiarkan mereka terjerumus pada orientasi kebahagiaan yang hanya bersifat sementara, melainkan mereka akan dibentuk untuk menjadi orang-orang yang memiliki tujuan kebahagiaan yang didapat dengan meraih Ridha-Nya, yaitu Surga yang kekal di akhirat sana. Dan kesemuanya membutuhnya peran Islam dalam seluruh lini kehidupan, baik dalam lini individu yang bertakwa, masyarakat yang saling mengingatkan dalam kebaikan, serta negara yang menerapkan syariat Islam. Semunya lini tersebut membutuhkan standar yang benar, dan standar yang benar bukan datang dari manusia, melainkan dari sang Pencipta, Allah Azza Wajalla. Allahu’alam. [RN]
Penulis, Siti Hariati Hastuti
Mahasiswi Tingkat Akhir, Universitas Brawijaya. Tim Penulis Pena Langit