(Panjimas.com) – Diterimanya konsepsi demokrasi sebagai sistem politik oleh umat Islam di Indonesia berasal dari berfikir yang berlandaskan atas realitas. Bukan berasal dari prinsip norma dan mencoba untuk secara radikal mengubah realitas itu kepada satu bentuk ideal yang di inginkan. Idealisme yang di inginkan umat terhadap sistem politik harus berkompromi dengan realitas bangsa yang majemuk. Pun tidak sepenuhnya sama seperti demokrasi yang dianut oleh mayoritas di negeri barat. Penerimaan konsepsi demokrasi yang bukan lahir dari rahim Islam, meminjam istilah Adian Husaini perlu disamak.
Ibarat benda benda “najis” maka demokrasi itu najisnya bukan najis lizatihi tetapi najisnya masuk kategori lighairihi, najis yang masih dapat suci karena disamak. Najis nya bukan berasal dari bangkai kulit anjing atau kulit babai tetapi bangkai yang dihukumkan najis itu adalah bangkai yang berasal dari binatang kambing atau kerbau. Penyamakan itu paling mendasar adalah dari epistimologinya, barat menggunakan demokrasi dengan epistimologi sekuler sedangkan demokrasi di Indonesia menggunakan epistimologi Islam. Setiap konsep yang datang dari barat di affirmasi dengan menerima yang baik dan menolak yang tidak sesuai dan bertentangan dengan wahyu.
Demokrasi yang berjalan tanpa adanya penyamakan maka akan berhukum najis yang tidak dapat digunakan. Sebab secara normatif teori yang datang dari barat tanpa adanya penyamakan maka secara realitas tidak akan membawa bangsa ini menjadi lebih baik bahkan membawa kepada keterpurukan. Pasca reformasi kekuatan meng-affirmasi demokrasi tidak berjalan sesuai dengan yang di harapkan, demokrasi yang berjalan di Indonesia semakin liberal.
Menurut Yudi Latif, diterimanya gagasan demokrasi liberal di Indonesia tanpa diuji, apakah dapat membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera. Mencengkramnya demokrasi liberal dengan melahirkan sistem politik elektoral yang telah mendesign politik Indonesia berbiaya sangat mahal, untuk menjadi kepala daerah atau anggota dewan perwakilan rakyat misalnya harus keluar uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah untuk biaya dukungan partai, kampanye, menyewa konsultan politik, belanja iklan bahkan politik uang. Biaya politik yang sangat mahal inilah penyebab dari tumbuh suburnya korupsi di Indonesia. Dalam catatan Indonesia CorruptionWatch (ICW) selama 2010-2017 tidak kurang dari 215 kepala daerah menjadi tersangka korupsi baik yang di tangani KPK, kejaksaan, maupun kepolisian.
Revitalisasi penyamakan demokrasi seperti yang dilakukan oleh generasi awal politisi umat Islam saat kemerdekaan republik ini mestilah dilakukan. Perlu dijadikan teladan generasi politisi awal kemerdekaan, mereka mampu memberikan warna dan masukan konsep demokrasi di Indonesia. Peran itu dapat terlihat dari hasil perumusan dasar Negara dan konstitusi Negara yang tidak bercorak sekuler.
Selain itu M. Natsir berperan mengembalikan Indonesia dengan mosi integralnya sebagai bentuk penolakan demokrasi liberal (federalisme) dengan nilai dan cara pandang masyarakat Indonesia. Politisi muslim tidak mesti terbawa arus Pragmatisme.Politisi muslim mesti membentuk arus baru. Arus yang memiliki kekuatan konsep dan nilai-nilai Islam yang mulia. Hal itulah yang mesti di tunjukan agar politisi muslim memilki perbedaan yang jelas di bandingkan dengan politisi yang berada di luar garis agama Islam. [RN]
Penulis, Ahmad Basori
Penggiat Sosial Politik Islam, guru, tinggal di Tangerang