(Panjimas.com) – Hidup dalam kondisi sosial yang berstandarkan materi (baca: uang) sangat sulit terasa. Bagi kalangan menengah keatas saja, persaingan ketat selalu menemukan cara untuk berlaga. Tingginya nilai prestis suatu benda menjadi kebanggan untuk dipamerkan pada kawan-kawan, hingga mereka berlomba-lomba siapa yang paling bertahta dalam statusnya, sampai pada titik siapa yang paling berharta hingga mampu mempengaruhi penguasa. Mereka berebut pengaruh untuk menguasai tubuh rezim sampai ke lehernya. Kepala dan wajahnya tentu mereka poles supaya baik untuk pencitraan. Sebut saja koalisi 9 naga yang sudah tak malu-malu lagi mengeluarkan kukunya yang ia gunakan untuk mencengkram dan menyetir pergerakan “orang-orang kepercayaan” mereka. Hingga tak boleh ada satu kerikil pun yang menggangu perjalanan mereka menguasai seluruh aset negara Indonesia. Jika ada yang nekat, maka harus adu kuat berhadapan dengan Perppu yang mereka buat secara mendadak. Picik sekali bukan?
Lain hal dengan kehidupan di hilir. Semua nampak begitu bersahaja, rakyat terima dengan lapang dada siapapun yang jadi pemimpinnya. Harapannya sederhana, “yang penting kami sehat, masih bisa makan, anak-anak masih bisa sekolah”. Bagi Indonesia yang kaya ini, tentu bukan hal mustahil mewujudkannya. Empat tahun lalu saja pengamat energi Indonesia merilis data bahwa kita masih menyimpan 200.000 triliun kekayaan sumber daya alam dari minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya. Bahkan dengan asumsi tidak ditemukannya cadangan baru lagi. Dibanding jumlah kita yang hanya sekitar 250 juta, tentu jumlah ini cukup untuk menghidupi seluruh kebutuhan primer kita, termasuk pendidikan sampai jenjang Master (S2).
Fakta banyaknya memang tak seindah teori, setiap tahun kita mendengar klaim bahwa penduduk miskin negeri jumlahnya menurun, tapi bukan karna taraf hidupnya meningkat, melainkan karna makna dan standar seseorang bisa dikatakan miskinnya yang diubah. Tak manusiawi, ilmu yang begitu tinggi ia usahakan malah dijadikan pembenaran bagi kezhaliman yang ia lakukan. Padahal sejatinya wakil rakyat itu telah diberi amanah untuk mengurusi kepentingan rakyat bawahan yang memilihnya, bukan malah jadi cukong pemilik modal yang jumlahnya tak lebih dari jumlah jari masyarakat satu RT.
Kontestasi demokrasi dalam kurun 2018-2019 ini menjadi bukti didepan mata betapa menjelang pemilihan, partai politik (parpol) mulai meminggirkan platform perjuangan yang selama ini digaungkan. Jika beberapa parpol sebelumnya memposisikan diri sebagai oposisi, dekat ini mulai sowan-sowan ke pihak yang menurut partainya akan mendulang (kembali) banyak dukungan sehingga diharapkan parpol mereka akan kecipratan keuntungan. Lihatlah, tak ada kawan atau lawan abadi dalam demokrasi ini, yang ada hanya kepentingan abadi. Semudah itu menghilangkan idealisme demi porsi kursi yang diidam-idamkan. Seharusnya mereka malu membawa nama rakyat terlebih untuk mendulangsuaranya.
Pemegang hak pilih terbesar di Indonesia merupakan masyarakat muslim, karna memang mayoritas kita beragama Islam. Maka suatu hal yang lazim jika parpol itu akan membawa kepentingan para pemilih muslim sendiri, apalagi banyak parpol yang mengusung nama Islam. Namun lagi-lagi rakyat bawah harus kecewa. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari sempat memaparkan hasil survei Capres 2019 dengan hasil bahwa kemungkinan adanya poros koalisi partai Islam sangat kecil. Hal ini disebabkan masing-masing dari partai tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Selain itu, partai tersebut telah memiliki jalan masing-masing. “Paling tidak PPP sudah merapat ke Jokowi, PKS sekutu dengan Gerindra. Tinggl PKB dan PAN, kalau bergabung tidak cukup memenuhi syarat 20 persen kursi, jadi kemungkinan PKB dan PAN ini akan merapat ke salah satu kubu, kalau tidak Jokowi ya Prabowo. Agak sulit untuk mengharapkan adanya koalisi partai Islam, karena figur yang dianggap santri itu tidak ada sosoknya,” jelasnya pada suatu laman media massa online. Akhirnya, keinginan rakyat makin dijauhkan panggangnya dari api.
Mekanisme perpolitikan sebenarnya tidak luput dalam kacamata Islam. Ajaran Islam menggambarkan dengan rinci fungsi partai politik dalam kehidupan bernegara, yakni sebagai fungsi mengoreksi pemerintah, mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap dalam koridornya dan membantu negara mengedukasi masyarakat terkait aktivitas politik secara prakteknya. Ketika pun ada salah satu kadernya yang ditunjuk menjadi pemimpin di suatu wilayah, keanggotaannya wajib dicabut saat itu juga. Hal ini menegaskan bahwa parpol tidak boleh dan tidak bisa dijadikan kendaraan untuk meraih kekuasaan dalam sistem islam.
Islam diturunkan oleh Pencipta dilengkapi khazanah rambu-rambu untuk menjalankan setiap sendi kehidupan manusia. Bagi para mukmin yang memilih untuk terjun dalam aktivitas politik praktis, sudah menjadi kewajiban dasarnya untuk tetap berpegang teguh pada ideologi Islam yang diembannya. Standar halal-haram harus selalu menjadi patokannya dalam menentukan sikap, karna sejatinya ridho Allaah-lah yang hendak ia capai melalui perjuangannya dalam berpolitik tersebut. Keimanannya yang ia pupuk setiap hari akan menjadi kekuatan untuk meninggikan Islam lewat penerapannya secara holistik dan komprehensif. Tidak hanya puas untuk diambil nilai-nilainya saja, sekaliguslangkah-langkah praktisnya sebagaimana tertuliskan dalam Kitabnya yang mulia dan contoh langsung dari Rasulnya melalui ucapan dan perbuatan beliau. Maka tupoksinya jelas, adanya parpol akan digunakan sebagai wasilah (jalan) untuk penegakkan sistem Islam yang agung ini.
Visi tersebut nampak jauh dari kondisi lingkungan parpol kekinian. Semua tampak sibuk mengukuhkan kursi agar tak direbut tetangganya bahkan rela saling sikut untuk menambah jatahnya. Perjuangan berat harus dijalankan para kader untuk meraihnya, tidak sedikit pula urusan pribadi yang dikorbankannya. Disisi lain mereka juga perlu sadar bahwa resiko terburuk, terberat, tersulit, tersempit akan hanya dirasakan rakyat kelas bawah negeri ini. Rakyat bawah-lah yang pertama kali akan merasakan dampak dari kinerja mereka selama mengurusi negara. Sesuainya mereka dengan aturan Pencipta akan menjadi rahmat, sebaliknya keengganan mereka mengambil solusi dari Islam akan mengantarkan pada celaan bertubi saat Hari Penghisaban nanti.
Ya begitulah resiko yang akan diterima kita sebagai rakyat bawah, berangan kesejahteraan disaat penguasa menargetkan kepentingan diri dan kelompoknya. Diam tak pernah jadi solusi, maka mulailah bersuara, sampaikan solusi nyata dengan kembalinya segala sesuatu pada fitrahnya, yakni apa yg telah dititahkan Allaah semata. Wallaahu’alam bi ash shawwab. [RN]
Penulis, Salma Banin
Mahasiswi senior mantan staf Kementrian Kebijakan Publik Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaaya. Anggota grup kepenulisan PENA LANGIT Malang.