(Panjimas.com) – Krisis kemanusiaan terus terjadi setiap harinya di wilayah Ghouta. Dari hasil observasi oleh Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) disebutkan bahwa korban jiwa telah mencapai angka 1000.
Dari 1000 korban tersebut diantaranya 381 korban tewas, 227 anak dan 154 perempuan, sedangkan sisanya korban luka-luka.
Abdelmalik Aboud, aktivis di kota Douma, mengatakan kepada Aljazirah Ahad (11/3), “Pesawat tempur menutupi langit di Ghouta Timur kemarin. Penembakan itu difokuskan pada tempat penampungan dan masjid bawah tanah dan tempat persembunyian orang, karena pengeboman yang terus-menerus”.
Kasus ini sudah tidak asing lagi bagi negara-negara di dunia, khususnya negara adidaya yang dinilai memiliki pengaruh besar bagi perkembangan negara-negara di dunia. Namun, pengaruh yang diberikan oleh negara adidaya kepada negara yang sedang mengalami konflik besar seperti Suriah, bukan pengaruh untuk meredakan bahkan menghentikan konflik besar ini. Tetapi justru membesarkan api konflik Suriah. Dengan maksud untuk mencapai kepentingan mereka tanpa terjun langsung dalam bentrokan.
Seperti yang diungkapkan Abdel Bari Atwan, pensiunan pemimpin redaksi surat kabar pan-Arab Al-Quds Al-Arabi yang menjadi sebab perang semakin parah adalah setelah Donald Trump menjadi Presiden AS, ia mengungkapkan bahwa AS tidak akan pernah menarik 2000 personil militernya dari Suriah, bahkan setelah berakhirnya alasan awal yaitu untuk melawan kelompok Negara Islam (ISIS).
Kecaman yang disampaikan oleh negara-negara mayoritas islam pun juga tidak akan pernah membuat keadaan di Suriah, khususnya Ghouta semakin mereda. Karena yang dibutuhkan oleh Ghouta saat ini bukan kecaman, tetapi aksi nyata yang seharusnya dilakukan oleh negara yang merasa memiliki ikatan saudara sesama muslim.
Namun yang menjadi sebab dari tidak adanya aksi nyata dari negara-negara muslim di dunia juga karena tidak ada sistem yang menaungi mereka. [RN]
Penuis, Marselina Santoso
Tinggal di Kalianak Timur Surabaya