(Panjimas.com) – Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 akan digelar serentak di 171 daerah di Indonesia. (Gelombang pertama tahun 2015, gelombang dua 2017) ini diikuti 17 propinsi, 115 kabupaten dan 39 kota.
” Juni 2018 pilkadanya, tapi tanggalnya belum” ucap Komisionaris KPU RI Ferry Kurnia Rizkiayansah.
(kumparan.com, jum’at 22/2/2017).
Sejumlah nama-nama Pasangan Calon (paslon) yang bakal maju di Pilkada, sudah mulai bermunculan dan tebar pesona kepada masyarakat. Dengan tujuan untuk mencari dukungan diperhelatan Pilkada awal 2018 mendatang. Berbagai macam cara dan upaya dilakukan oleh para paslon
untuk memikat hati masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh calon Gubernur Jawa Barat. Dia mengadakan kunjungan ke Sekretariat Pengurus Pusat Angkatan Muda Siliwangi (AMS) dijalan Braga, kota Bandung. (oke zone.com,18/2/2018). Begitu juga yang dilakukan oleh calon wakilnya. Dia belusukan di pasar Jatibarang, kecamatan Jatibarang, kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Kemudian calon Gubernur Sumatra selatan menyempatkan diri untuk olah raga dijalan Yos Sudarso kota Lubuk Linggau. Ia nampak membaur dengan masyarakat yang kebetulan sedang berolah raga diareal Car Fee day. (Oke zone.com,18/02/2018). Dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh pasangan calon yang lain.
Bercermin dari pilkada serentak dari 2015 dan 2017 lalu, tidak sedikit janji/ide serta gagasan para Kandidat Paslon Kepala Daerah yang dibungkus sedemikian rupa dalam kampanye politik. Tapi dalam realitas perjalanan kepemimpinannya terkadang tidak sesuai. Sehingga hal ini menjadikan masyarakat semakin cerdas untuk memilih pemimpin. Mereka tidak butuh janji politik, pencitraan dan tebar pesona, yang diinginkan hanya pemimpin yang konsisten terhadap janji kampanye dan praktek kerjanya, yang Lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat diatas segalanya. Dan pemimpin yang baik, yang mau menerima masukan, kritikan bahkan keluhan-keluhan rakyatnya. Dan juga butuh sosok pemimpin yang mampu membebaskan rakyatnya dari kebodohan, kejahatan, dan kehidupan yang tidak layak. Namun, bisakah semua itu terwujud dalam sistim yang ada pada saat ini (Demokrasi)?
Dalam Demokrasi, politik pencitraan masih menjadi modal utama bagi Paslon di Pilkada. konsep halal harampun tidak dikenal. sehingga wajar, jika dalam setiap moment pemilu praktek suap suara pemilih selalu ada. Segala cara akan ditempuh agar bisa meraih kekuasaan. Lagi-lagi uang memegang peranan penting. Sehingga ada pepatah siapa yang memiliki banyak uang maka dialah yang akan menang. Dan ketika menjabat maka akan mencari balikan modal. Bukan fokus sama amanah jabatan, tapi sibuk mengembalikan dana yang dipakai dalam Pilkada.
Berbeda dengan Politik Islam, dimana seorang Wali/Kepala Daerah dipilih dan diberhentikan langsung oleh seorang khalifah bukan rakyat. Yang sudah pasti pilihannya sesuai kriteria pemimpin yang tidak bertentangan dengan hukum syara. yaitu laki-laki, baligh, muslim, adil, dan termasuk orang yang mempunyai kemampuan. Bukan atas dasar kepentingan penguasa. Dan Wali diangkat tanpa adanya uang (money politik) serta tidak ada campur tangan asing.
Seorang Khalifah juga bisa memberhentikan Wali/Gubernur . Baik ada pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lainnya. Bisa juga mereka diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Seperti yang pernah dilakukan Rasul Saw. Pernah memberhentikan muadz bin jabal dari jabatan Wali Yaman tanpa sebab. Khalifah umar.ra. juga pernah memberhentikan ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.
Dengan itu masyarakat dan pejabat akan paham bahwa jabatan Kepala Daerah adalah biasa. Dan pemangku jabatan bisa diberhentikan kapan saja. Dan jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan, dan orangpun tidak akan berlomba-lomba untuk mengejar jabatan.
Demikianlah dengan pengangkatan kepala daerah langsung oleh Khalifah, akan menghemat uang negara, mencegah terjadinya praktek money politik, korupsi, pencitraan dan tebar pesona. Bahkan kericuhan yang selalu mewarnai setiap pilkada akibat ketidak puasan pihak yang kalah, tidak akan terjadi dalam sistim khilafah. Hal ini karena perintah seorang khalifah wajib ditaati dan dilaksanakan. [RN]
Penulis, Endang Setianingsih
Ibu Peduli Umat tinggal di Lawang Gintung Bogor, Jawa Barat