(Panjimas.com) – International Woman Day atau Hari Perempuan Internasional diperingati secara resmi tiap tanggal 8 Maret. Namun sejak awal bulan kemeriahannya telah terdengar gaungnya. Sejumlah wilayah di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Denpasar, Kupang, Lampung, Malang, Pontianak, Salatiga, Serang, Sumba, Surabaya, Tondano dan Yogyakarta secara pararel menggelar aksi turun ke jalan yang bertajuk Womens March. Puncak acara diadakan di Jakarta, dengan tema ” Perempuan Bergerak Melawan Diskriminasi, Intoleransi dan Pemiskinan”, seruannya ‘ayo bergabung, berparade bersama, suarakan tuntutan untuk memenangkan demokrasi dan keesetaraan.
Aksi Womens March tahun ini mengusung isu kekerasan terhadap kaum LGBT, perlindungan atas pekerja rumah tangga dan buruh migran, pernikahan usia dini, kekerasan dalam pacaran, dan perlindungan terhadap pekerja seks. Sedang di tingkat pengambil kebijakan, aksi ini mendorong pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual, RUU pekerja rumah tangga, serta mengkritisi rancangan KUHP terkait perluasan pasal zina dan larangan distribusi alat kontrasepsi atau pendidikan kesehatan reproduksi.
Menarik untuk dicermati, tuntutan para feminis tersebut tidak sekedar memperjuangkan kesetaraan gender sebagai akibat dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, tapi juga memperlihatkan kentalnya aroma sekuler liberal yang hendak di usung. Para feminis merasa bahwa sebagai manusia, ia memiliki wewenang penuh atas tubuh dan hidupnya. Maka wajar kaum feminis menganggap perlu adanya perlindungan menyeluruh terhadap perempuan melalui pranata UU yang menjamin rasa aman dari berbagai tindak kekerasan sekaligus menjamin kebebasan berprilaku dan berekspresi ( termasuk prilaku seks menyimpang ) atas nama hak asasi. Liberalisasi diamini sebagai bentuk equality dan menolak keterikatan pada syariat Illahi.
Faktanya kapitalisme global telah berhasil mengakibatkan termarginalisasinya kaum perempuan di segala lini kehidupan. Kapitalisme hanya mengkayakan segelintir pemilik modal dan memiskinkan sebagian besar lainnya. Akibatnya perempuan yang menerima dampak terdasyatnya. Termiskinkan oleh sistem, memaksa para perempuan bekerja menopang ekonomi keluarganya. Paham liberal kapitalisme membuat kaum perempuan rela dieksploitasi tenaga dan fisiknya sedemikian rupa untuk menghasilkan materi yang sebanyak-banyaknya. Norma, nilai kepatutan dan agama ditinggalkan untuk mengejar gula-gula dunia. Baginya itulah yang bisa mengantarkan bahagia. Maka tak heran ada perempuan yang menjadi kuli, sopir truk yang sejatinya tidak layak dengan fitrahnya yang penuh kelembutan. Ada yang menjadi pahlawan devisa sebagai buruh migran meski tak jarang kita dengar di negeri orang mereka di aniaya dan dilecehkan karena minimnya ilmu dan keahlian. Ada pula yang tak segan mengumbar aurat sebagai tontonan penglaris barang dagangan.
Mirisnya, pemberdayaan ekonomi perempuan justru memutilasi fungsi strategis ibu sebagai pencetak generasi. Serbuan narkoba serta legalnya miras untuk diproduksi dan didistribusi turut memperparah rusaknya generasi. Liberalisasi yang digadang sebagai simbol tertunaikannya hak asasi ternyata justru mengkebiri fitrah perempuan yang hakiki. Kemulian dan martabat perempuan hanya sebatas ilusi.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan apa yang kita temui dalam naungan Islam. Perbedaan fitrah antara laki-laki dan perempuan membuat mereka bersanding tuk saling berkolaborasi, bukan tuk bertanding menunjukkan eksistensi. Standar kebahagiaan mereka bukanlah materi, tapi tercapainya ridho Illahi. Islam memuliakan perempuan dengan melindungi kehormatan dan posisi strategisnya sebagai penentu peradaban. Kesejahteraan perempuan dijamin sedemikian rupa dengan haknya memperoleh nafkah dari suami, ayah, saudara laki-laki atau negara jika tidak ada yang lagi yang bisa memenuhi, lewat baitul mal. Meski demikian Islam tetap membolehkan perempuan berkarier, selama tidak bertentangan dengan fitrah keperempuanan dan syariat Islam. Perempuan dalam Islam diberi kebebasan mengenyam pendidikan sama dengan kaum laki-laki, yang akan digunakannya sebagai modal mendidik generasi.
Bila semua persoalan perempuan harus segera teratasi, maka menerapkan sistem pemerintahan Islam yang memberlakukan seluruh syariat Illahi harus terealisasi. Institusi yang bisa memastikan terjaganya kemulian dan martabat perempuan sesuai fitrahnya yang hakiki. Wallahu a’lam bish-shawab. [RN]
Penulis, Teti Kurniawati
Ibu dan Pemerhati Generasi