(Panjimas.com) – Beberapa bulan terakhir masyarakat dihebohkan dengan satu tema yang disiarkan langsung di salah satu stasiun televisi swasta yaitu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Dalam tayangan tersebut hadir tokoh-tokoh, baik yang pro maupun yang kontra dengan LGBT, yang menjadikan acara tersebut semakin menarik.
Yang membuat geleng kepala adalah kenyataan bahwa negara yang penduduknya mayoritas muslim masih memperdebatkan masalah yang jelas-jelas dalam Islam dilarang bahkan diharamkan. Survey Nasional (Surnas) SMRC menunjukkan bahwa kendati bertentangan dengan agama, 57,7% publik berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di negara kita. Adapun yang berpendapat sebaliknya hanya 42,8% saja. Miris bukan?
Muncul pertanyaan di benak, kenapa ini bisa terjadi? Merebaknya LGBT tak mungkin hanya dipengaruhi oleh sedikit faktor. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi. Perilaku menyimpang ini sudah menyebar di seluruh dunia. Komunitas yang menyebarkannya tentu sangat besar dan terorganisir. Bahkan yang mengenaskan adalah hak-hak mereka juga telah diakui oleh PBB tahun 2008. AS bahkan secara serius mendanai program baru bernama “Being LGB in Asia” yang diluncurkan oleh UNDP dengan pendanaan US$ 8 juta dari USAID mulai Desember 2014 sampai September 2017.
Jika dirinci, setidaknya ada beberapa faktor yang perlu kita garisbawahi. Pertama, sistem yang mendukung berlangsungnya segala aktivitas dan program terlaknat ini. Kendati sebuah negara mayoritas penduduknya muslim, tapi jika sistem yang digunakan adalah sistem kapitalis-liberalis, maka mindset masyarakat dan pemimpinnya pun juga sekuler. Artinya memisahkan urusan dunia dengan akhiratnya. Hal ini disebabkan asas yang dipakai pada sistem liberal adalah asas manfaat, yakni jika hal yang kita lakukan ada manfaatnya tetap mereka lakukan walaupun melanggar hukum Islam. Faktor kedua, dari dalam individu masing-masing muslim. Walaupun banyak muslim yang mengerti Islam, tapi lebih banyak lagi muslim yang enggan mengkaji Islam. Hal inilah yang menyebabkan cara berfikir mereka belum sesuai dengan Islam. Mereka mudah terpengaruh oleh pemikiran sekuler. Faktor ketiga adalah teman. Dengan siapa kita berteman, itu penting. Sedikit atau banyak, teman itu pasti membawa dampak terhadap diri kita.
Apakah hal atau fenomena itu bisa diatasi? Jawabannya adalah sangat bisa. Caranya, yang pertama ubah sistem “serba boleh” yang membuat seorang muslim saat ini kesulitan menjadi muslim yang kaaffah. Sudah seharusnya, bagi seorang muslim untuk menerapkan sistem Islam pula. Yang kedua, memperkuat iman pada masing-masing muslim (diri kita dan orang di sekitar kita) dan merubah pemikirannya dengan pemikiran Islam pula. [RN]
Penulis, Tria Riska Puspita
Mahasiswi IAIN Tulungagung