(Panjimas.com) – Keluarga adalah benteng pertahanan pertama bagi seseorang dalam menghadapi kehidupan. Di dalam keluarga inilah seseorang mendapatkan pemahaman bagaimana hakikat kehidupan. Selain itu juga mulai terbentuk cara pandang terhadap kehidupan. Seorang anak akan mendapatkan pendidikan pertamanya dari orang tua. Orang tua memainkan perannya agar bahtera keluarga bisa tetap diarungi. Kondisi di mana semua dapat menempatkan diri sesuai perannya tentu sangat diinginkan hingga dapat berjalan dengan harmonis sesuai dengan aturan Sang Pencipta.
Jika kita mengingat kembali pengetahuan tentang tata surya, maka pembahasan tentang perputaran benda langit seperti planet tidak luput untuk dibahas. Planet dan benda langit lainnya berputar mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya. Jika mereka memiliki poros atau pusat untuk dikelilingi, maka demikian juga dengan kehidupan. Kehidupan memiliki poros, yang dengan adanya poros atau pusat tersebut maka akan ada hal-hal yang mengelilingnya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan keluarga saat ini? Berada pada pusaran apakah kehidupan keluarga? Mari sejenak kita lihat kembali fakta yang terjadi di sekitar kita, atau bahkan tidak sadar kita juga mengalaminya.
Setiap hari kita lihat seorang ayah bisa berangkat pagi pulang petang untuk mencari sesuap nasi. Persaingan di lapangan akibat penerapan sistem kapitalisme membuat ayah harus benar-benar survive di lapangan. Hal ini terjadi karena dalam sistem ekonomi kapitalisme siapa yang kuat dialah yang menang, hukum rimba berlaku. Di sisi lain harga kebutuhan pokok juga melambung tinggi. Ini akan mengakibatkan ibu juga akhirnya ikut keluar untuk membantu dalam mencari sesuap nasi. Peran ibu menjadi berkurang untuk anak.
Anak akan dididik seadanya sesuai dengan waktu yang tersisa, atau bahkan dididik orang lain. Di sisi lain anak digempur seperti tayangan yang menyodorkan potret gambaran kehidupan sekulerisme. Lagi-lagi hal-hal yang berbau kapitalisme mengelilingi kehidupan. Mereka mendapatkan guru baru di dunia maya. Di dunia nyata anak mendapatkan pergaulan dari lingkungan sekitar yang belum tentu sesuai untuk mereka. Pengawasan terhadap anak pun bisa menjadi berkurang. Dengan kesibukan orang tua yang tujuannya adalah materi menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan materi bagi anak dianggap sudah cukup.
Berbagai gagasan atau ide-ide sesat yang bertentang dengan Islam juga merasuki kehidupan keluarga baik kepada ayah, ibu maupun anak. Sebenarnya dari ide inilah akhirnya keluarga itu menjalani kehidupannya seperti yang dipaparkan sekilas di atas. Ide kesetaraan gender bisa membuat seorang ibu keluar meninggalkan peran strategisnya sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Ide materialistis dengan standar kebahagiaan yang diukur dengan materi juga turut mengiringi kehidupan keluarga, bahkan masyarakat. Belum lagi ide feminisme yang sekarang ramai didengungkan, melupakan fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.
Pandangan tentang kehidupan di dalam keluarga akan sedikit-sedikit bergeser mengikuti sistem kapitalisme yang terus mencengkeram. Ini terjadi manakala kedua orang tua terbawa pada arus tanpa memiliki pegangan kuat dalam menjalani kehidupan. Namun sayangnya cengkeraman itu memang mau tidak mau memaksa kondisi tersebut tercipta. Maka yang terjadi bahwa keluarga berada pada pusaran kapitalisme. Segala sesuatu yang berputar di sekitar kehidupan keluarga akan berhubungan dengan sistem kapitalisme. Kerusakan akan menghiasi berbagai sudut kehidupan keluarga akibat poros kehidupan yang salah.
Jika kita mengingat kembali hakikat hidup manusia sebagai seorang hamba untuk beribadah dan meraih ridho Sang Pencipta lah yang seharusnya menjadi tujuan utama. Pengembalian peran masing-masing individu sesuai dengan fitrahnya harus dilakukan dan itu tidak lain harus sesuai dengan aturan Islam, aturan yang dibuat oleh pencipta manusia yang mengetahui betul bagaimana ciptaannya. Islam harus menjadi poros kehidupan di dalam keluarga sebagai institusi kecil.
Dengan menjadikan Islam sebagai poros kehidupan keluarga, maka tak heran jika nantinya mampu melahirkan sosor-sosok luar biasa sebagaimana pada zaman Rasulullah. Pribadi yang cerdas dengan Islam, sholeh sholehah dan berideologi Islam lahir dari keluarga yang memiliki poros Islam. Peran orang tua sebagaimana mestinya bisa dilaksanakan dan tercipta kondisi yang harmonis. Kondisi ini tentu akan terwujud jika pusaran dalam kehidupan di lingkup yang lebih luas juga Islam. lingkup yang lebih luas itu adalah masyarakat juga negara sebagai institusi besar yang menaungi berbagai institusi kecil keluarga. [RN]
Penulis, Novita Fauziyah
Seorang Pendidik tinggal di Bekasi