(Panjimas.com) – Cadar, dikenal sebagai penutup muka bagi wanita. Pakaian model ini sudah ada pada ajaran agama samawi, baik agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ibu Yesus, dan Maria Magdalena adalah dua wanita zaman awal agama Nasrani yang disebutkan memakai cadar.
Dalam Islam, tersebut kitab-kitab tafsir klasik yang dikarang ulama ulama besar dunia Islam, ada menjelaskan masalah cadar, khususnya dalam menafsirkan Surat Al-Ahzab ayat 59. Sebut saja tafsir Jalalain, Karya Imam Suyuthi, tafsir Showi, tafsir Ibnu Katsir, dan tafsir Fi Ahkamil Qur’an karya, Qurthubi.
Uniknya tafsir Kementerian Agama dan Terjemah Al-Qur’an keluaran resmi Kementerian Agama Republik Indonesia juga mengakui adanya cadar itu dalam kitab-kitab mereka.
Jadi, jika ada yang sudah dianggap orang sebagai seorang ulama di NKRI ini, kemudian dia “ngotot” mengatakan bahwa cadar adalah budaya Arab, tentu saja orang itu mesti siap untuk menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Justru Surat Al-Ahzab ayat 59 itu diturunkan Allah untuk menghapuskan budaya wanita Arab yang umumnya saat sebelum Islam lazim bertabarruj, yakni membuka aurat perut, dada, kepala, dan anggota tubuh lainnya. Dimaklumi para budak wanita zaman dahulu di Arab malah menampakkan buah dada mereka (tabarrujul jahiliyah).
Di negeri Nusantara cadar sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Dan bukan barang baru.
Di Bima para wanita di sana mengenal penutup wajah bagi wanita dengan memakai sarung tradisional. Mereka menyebutkannya sebagai Rimpu Sampela. Adapun jika wanita menutup kepala, tanpa menutup wajah mereka menyebutnya Rimpu.
Sultan Langkat, Sumatera Utara, di zaman Yang Mulia Sultan Abdul Aziz, telah membuat sekolah yang memisahkan wanita dengan laki laki. Madrasah itu bernama madrasah Aziziyah. Di madrasah itu para murid wanita semuanya memakai cadar. Salah satu murid wanitanya adalah isteri guruku, Al Ustadz almarhum Abdul Qadir, yang tinggal di Jalan Ismailiyah, Medan.
Satu hari di tahun 1993 saya pulang ke Kampung ibu isteri saya di Sungai Jawi, Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Isteri saya tercinta saat itu memakai cadar dan baju kurung berwarna hitam hitam. Sekonyong konyong saat kami berdua berjalan kaki, seorang nenek nenek menghampiri kami. Dia memakai kain sarung tapi menutupkan wajahnya dgn kain sarung itu. Wanita tua itu berkata: “Beginilah pakaian kami dan pakaian dua orang anak tuan guru Jahruddin dahulu di kampung ini..” Terdengar isak tangis saat wanita itu memeluk isteri saya.
Perlu diketahui Tuan guru Jahruddin adalah kakek guru saya. Beliau adalah guru dari guru saya almarhum Wak Haji Abdul Wahab yang tinggal di Jalan Halat, Medan.
Di Tangga Batu, Sumatera Selatan sudah ratusan tahun tinggal wanita wanita bercadar di sana. Demikian juga di wilayah Bukit Duri, Jakarta Timur dan banyak wilayah di NKRI ini.
Salah satu Sultan dari Kerajaan Deli, di Medan, tepatnya di Istana Maimun, Medan, ada terpajang foto beliau yang Mulia Sultan Deli, dengan Tuanku Permaisuri beliau yang memakai CADAR. Saya dan para sepupu saya, sering memandang foto itu saat usia remaja dahulu jika kami sedang berkumpul di Istana Maimun tersebut.
Dan banyak lagi wilayah NKRI yang sejak ratusan tahun para wanitanya sudah lazim bercadar. Tidak ada kehebohan bercadar adalah kaum radikal, melainkan hanya dalam satu dua tahun terakhir ini saja muncul kecurigaan cadar adalah radikal. [DP]
Penulis, KH. Tengku Zulkarnain
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat