(Panjimas.com) – Musim penghujan tahun ini kembali membawa catatan buruk. Berbagai daerah di tanah air banjir. Berita ibukota, banjir berlangsung sampai berhari – hari akibat luapan kali Ciliwung (Liputan 6.com, 17/2/2018). Beberapa wilayah di Gresik pun mengalami kondisi yang sama. Tiga kecamatan di Gresik (Balongpanggang, Cerme, Benjeng, red), selalu menjadi langganan banjir. Tidak ketinggalan juga kecamatan Driyorejo, yang mendapat hadiah setelah pembuatan jalan tol antar provinsi. Berdasarkan pengamatan para ahli, banjir yang terjadi di berbagai daerah dikarenakan semakin sempitnya ruang terbuka hijau yang berfungsi menyerap curah hujan di musim penghujan. Ada juga faktor saluran air yang kurang memenuhi syarat. Seperti di Gresik, daya tampung kali lamong tidak bisa menampung debit air hujan yang tinggi menjadi pemicu banjir tahunan yang selalu terjadi (kompas.com).
Hujan, kini menjadi ancaman. Padahal dalam berbagai hadist, Rasul menyampaikan banyaknya rahmat Allah yang diturunkan bersamaan dengan air hujan. Boleh jadi ini adalah teguran Allah bagi manusia -termasuk penguasa- yang telah merusak kelestarian dan keseimbangan alam dengan banyak merubah lahan hijau dan serapan air menjadi perumahan, lahan bisnis, dll; selain berbuat maksiat lainnya. Sebagaimana yang diingatkan Allah dalam kitab suci al-qur’an. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [Qs. Ar Rum (30): 41].
Sebenarnya teknis pengelolaan banjir, telah banyak tersebar di berbagai literatur. Sebagai sarjana tekinik lingkungan, ada beberapa hal yang bisa saya bagikan. Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, maka upaya yang bisa ditempuh dengan membangun bendungan-bendungan yang berkemampuan menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Negara memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal.
Negara juga bisa membangun kanal, sungai buatan atau saluran drainase untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala,harus dilakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, harus dilakukan. Caranya dengan memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau. Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu juga bisa menjadi alternatif menanggulangi banjir selain bisa berfungsi sebagai tandon air.
Aspek undang-undang dan kebijakan, tentu juga perlu mendapat perhatian. Kebijakan tentang master plan, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Persyaratan pendirian bangunan harus dilakukan dengan ketat meski tanpa birokrasi yang rumit. Dan hal ini berlaku tanpa pandang bulu. Negara seharusnya juga membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Kawasan hutan lindung dan cagar alam, harus benar – benar dilindungi hukum. Selain tentunya sosialisasi masif tentang pentingnya hidup bersih dan menjaga kelestarian lingkungan.
Adapun jika semua hal telah dilakukan dan qodarullah banjir tetap terjadi, sudah seharusnya pemerintah berperan maksimal dalam menangani korban-korban bencana alam. Bantuan berupa tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak harus segera diberikan. Baik melibatkan masyarakat di sekitar wilayah bencana atau dari badan khusus dari pemerintah. agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, para alim ulama sangat berperan untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Namun semua ini, seakan hanya menjadi teori diberbagai buku. Sangat sulit untuk diterapkan. Semuanya terkendala dana, kebijakan daerah dan pusat yang timpang, juga rendahnya jiwa sosial masyarakat. Dana yang minim dalam APBN kita dikarenakan sumber daya alam kita sudah dikuasai asing. Sehingga tidak bisa menjadi sumber pemasukan APBN. Kondisi ini ditambah dengan penerapan desantralisasi dengan otonomi daerah, yang menjadikan pemerintahan pusat berlepas tangan dalam beberapa hal yang dialami daerah. Di sisi masyarakat, Kesulitan hidup dan gaya individualistik materialistik menjadi faktor penting terkikisnya jiwa sosial. Terlebih menipisnya suasana ruhiyah, menjadikan amal dan pahala adalah hal abstrak yang sulit untuk diterjemahkan.
Disinilah letak pentingnya pengaturan sumber daya alam berdasarkam islam, yang akan menjadi sumber pemasukan besar APBN kita. Sistem sentralisasi dalm sistem islam juga memudahkan negara mengambil kebijakan terkait seluruh daerah. Suasana ruhiyah yang tinggi akan mendorong seluruh anggota masyarakat berlomba – lomba melakukan kebaikan. Sehingga hujan akan selalu menjadi nikmat bagi hamba yang taat.
Wallahu a’lam. [RN]
Penulis, Ririn umi hanif,
Pemerhati Ibu dan Anak di Gresik