(Panjimas.com) – Membangun masadepan yang cemerlang diperlukan kerja keras. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam berbagai kesempatan mengingatkan para shahabat agar menumbuhkan etos kerja yang kuat. Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas individu atau komunitas.
“Sesungguhnya orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya, lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, baik diberi atau ditolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Hasil keringat sendiri adalah lebih baik daripada pemberian tunai tanpa imbal balik berarti dari si penerima. Dan bila rezeki itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, terhitunglah sebagai shadaqah.
“Tidaklah seseorang memeroleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan oleh tangannya (oleh jerih payahnya sendiri). Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya, kecuali dihitung sebagai shadaqah.” (Hr. Ibnu Majah).
Dewasa ini, di mana gaya hidup masyarakat digiring menuju pola konsumsi, apa-apa harus beli; secara otomatis etos kerja menjadi tuntutan yang mudah ditumbuhkan. Namun, dalam iklim seperti itu, etos kerja tinggi yang semula merupakan akhlaq baik, tak jarang menjadi rusak dan berubah menjadi buruk karena pengaruh situasi dan kondisi, serta tradisi mayoritas yang konsumtif. Banyak orang berlomba-lomba memeroleh penghasilan yang besar namun melupakan pertimbangan-pertimbangan penting yang memengaruhi stabilitas kehidupan jangka panjang. Timbullah berbagai kerusalan baik moral maupun materal yang sulit dipulihkan, karena yang haram dan syubhat sulit dihindari.
Agar selamat, etos kerja kaum Muslim harus kembali diluruskan, dilandasi iman dan dituntun dengan wahyu Tuhan. Gelombang sekularisasi (pemisahan materi dengan ukhrawi) harus dilawan. Bila tak diingatkan akan akhirat, manusia akan bekerja sesuka hatinya dan itulah yang menjadi biang kerusakan.
“…. Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan kebajikan…” (al-Kahfi: 110).
Bekerja mencari maisyah bisa menjadi maksiat dan menghasilkan harta haram bila tak dibimbing norma-norma Islam. Ia baru akan menjadi amal shalih bila mengindahkan tata aturan yang Allah dan Rasul tetapkan. Bila sudah demikian, hasil usaha merupakan rezeki yang halal lagi baik, mengandung keberkahan.
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rejeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian hanya menyembah kepadaNya.” (al-Baqarah: 172).
Dan satu hal penting yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa harta benda yang sudah ada di tangan kita hanyalah amanah dari Allah ta’ala yang harus dialokasikan ke pos-pos pengeluaran yang tepat. Bekerja bukan untuk membangun kekayaan melainkan untuk membangun kehidupan berkeadaban.
“Kalian (Muslim) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (Ali Imran: 110).
Rezeki yang Allah ta’ala berikan adalah untuk bersinergi membangun masa depan yang cemerlang, kehidupan yang harmonis minim kesenjangan dan kezaliman.
“…. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…” (al-Maidah: 2),
“Barang siapa melepaskan seorang muslim dari satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah akan melepaskan ia dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat. Dan barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang susah, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aib dia di dunia dan di akhirat. Dan Allah selamanya menolong hambaNya, selama hambaNya menolong saudaranya.” (Hr. Muslim).
Mari perkuat etos kerja guna mewujudkan peradaban Islam yang cemerlang!
Wallahu a’lam. [IB]